Bayang-Bayang Penjajah dalam Diri: Membaca Ulang Black Skin, White Masks (1952) Karya Frantz Fannon
- Penulis : Irsyad Mohammad
- Rabu, 06 Agustus 2025 18:25 WIB

ORBITINDONESIA.COM- Frantz Fanon—dokter, revolusioner, dan pemikir radikal asal Martinique—bukan hanya seorang penulis. Ia adalah salah satu pendiri mazhab filsafat poskolonialisme, aliran yang membedah luka batin dan struktur kuasa yang tersisa setelah runtuhnya kekuasaan kolonial.
Black Skin, White Masks (1952) adalah karya awalnya, namun sudah memuat fondasi pemikiran yang kelak mempengaruhi generasi intelektual, filsuf, aktivis, dan seniman.
Buku ini tidak hanya mengkritik kolonialisme sebagai sistem politik-ekonomi, tetapi menelanjangi kolonialisme sebagai pengalaman psikologis yang membentuk cara manusia memandang dirinya sendiri.
Baca Juga: Resensi Buku Collapse (2005): How Societies Choose to Fail or Succeed Karya Jared Diamond
Membaca Fanon hari ini—di tengah dunia yang mengaku sudah “pasca-kolonial”—adalah pengalaman yang mengguncang. Sebab kita segera menyadari bahwa kolonialisme tidak benar-benar mati; ia bertransformasi menjadi struktur sosial, ekonomi, dan budaya yang jauh lebih subtil.
Fanon menulis dari pengalaman kulit hitam di dunia kulit putih, tetapi gema pesannya terdengar di seluruh negeri bekas jajahan, termasuk Indonesia, di mana bayang-bayang mentalitas kolonial masih mengatur cara kita berbicara, bermimpi, bahkan merasa bangga atau malu terhadap diri sendiri.
Luka yang Menjadi Cermin
Di halaman-halaman awal Black Skin, White Masks, Fanon menyampaikan sebuah kebenaran pahit: kolonialisme bukan hanya penaklukan wilayah, tetapi penaklukan citra diri.
Orang kulit hitam—dalam konteks Fanon—tidak hanya dijajah secara fisik, tetapi juga diajari untuk memandang dirinya melalui lensa kulit putih. Kulit hitam menjadi semacam “tanda” yang harus dijelaskan, dibela, atau malah disembunyikan.
Ia membedah bagaimana bahasa menjadi instrumen penjinakan. Di Martinique, misalnya, orang kulit hitam yang mampu berbahasa Prancis baku dianggap “beradab”, sementara dialek lokal diremehkan. Bahasa di sini bukan sekadar alat komunikasi, tetapi paspor menuju pengakuan sosial—pengakuan yang hanya valid jika mengikuti standar kolonial.
Ketika kita memindahkan lensa ini ke Indonesia hari ini, cermin Fanon memantulkan bayangan yang akrab. Kita melihatnya dalam kebanggaan berlebihan pada aksen asing, dalam nilai tinggi yang diberikan pada kulit putih atau “wajah bule” di iklan dan hiburan, bahkan dalam sistem pendidikan yang masih sering mengukur kualitas dengan standar Eropa.