DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Serikat Buruh Migran Indonesia Luncurkan Laporan TPPO 2025, Bertepatan Hari Perdagangan Orang Sedunia

image
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia, Hariyanto Suwarno (kanan) pada peluncuran laporan TPPO SBMI 2025 di Jakarta, Rabu, 30 Juli 2025. /ANTARA FOTO/Asri Mayang Sari

ORBITINDONESIA.COM - Serikat Buruh Migran Indonesia atau SBMI meluncurkan laporan TPPO SBMI 2025 bertajuk "Suara Korban dan Pendamping dalam Kasus TPPO: Membongkar Realitas Lemahnya Sistem Peradilan Pidana dan Abainya Aparat Penegak Hukum" di Jakarta, Rabu, 30 Juli 2025.

Peluncuran SBMI tersebut bertepatan dengan Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia yang jatuh pada 30 Juli.

Bagi SBMI, momen Hari Anti Perdagangan Orang Sedunia bukanlah seremoni simbolik, melainkan pengingat keras atas kegagalan negara dalam menghentikan praktik eksploitasi sistemik terhadap buruh migran Indonesia.

Baca Juga: Polri Pulangkan 35 Warga Negara Indonesia Korban TPPO dari Manila Filipina

"Peringatan Hari Anti Perdagangan Orang tidak boleh menjadi panggung seremoni, namun menjadi momen untuk mempertanyakan ulang arah dan tanggung jawab negara," kata Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno dalam acara peluncuran tersebut.

Menurutnya, ketika keadilan tidak lagi bisa ditemukan di dalam ruang hukum, maka yang dipertaruhkan bukan hanya hak korban, namun juga martabat negara itu sendiri.

Fakta yang dihadirkan dalam laporan SBMI itu menunjukkan dengan jelas sistem hukum Indonesia yang belum berpihak pada korban, bahkan secara aktif melanggengkan kekerasan melalui proses hukum yang tidak sensitif, meminggirkan korban dari hak dasarnya serta melemahkan pendamping yang berjuang mendampingi mereka.

Baca Juga: Kemlu RI Kembali Pulangkan 21 Warga Indonesia Korban TPPO dari Myawaddy, Myanmar

Pada Catatan Tahunan SBMI 2024, terdapat 251 pekerja migran Indonesia yang terindikasi menjadi korban perdagangan orang dari berbagai sektor.

Pihaknya mencatat sedikitnya 22 kasus perdagangan orang terhadap buruh migran yang dilaporkan sejak 2014-2025 ke berbagai instansi kepolisian, namun belum menunjukkan progres berarti. Beberapa kasus sudah berjalan lebih dari satu dekade dan terancam kadaluarsa, katanya.

Di saat yang sama, hak restitusi yang telah diputus oleh pelbagai pengadilan senilai lebih dari Rp5,6 miliar tak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan. Di ruang sidang, lanjutnya, korban bukan hanya diabaikan, namun juga dipermalukan secara terbuka oleh majelis hakim.

Baca Juga: Pakar Unpad, Teuku Rezasyah: Para Pemimpin ASEAN Perlu Tegas Tangani Kasus TPPO di Kawasan

Hakim mempertanyakan alasan pelaporan korban, menyudutkan perempuan atas pengalaman kekerasannya, dan dalam beberapa kasus bahkan korban dijerat dengan pertanyaan-pertanyaan tak mendasar yang bertentangan dengan prinsip peradilan berbasis korban, katanya.

Halaman:

Berita Terkait