Anas Al-Sharif, Jurnalis yang Lebih Ditakuti dari Seribu Tentara
- Penulis : Abriyanto
- Sabtu, 26 Juli 2025 07:11 WIB

ORBITINDONESIA.COM - Jika ada satu orang yang bisa membuat tentara paling brutal di dunia gelisah bukan karena senjata, tapi karena kamera, maka itu adalah Anas Al-Sharif.
Ia tak membawa drone. Tak memegang rudal. Ia hanya menyalakan mikrofon dan membiarkan dunia melihat sendiri: bahwa neraka di Gaza tak membutuhkan imajinasi, cukup cuplikan video dari lelaki ini.
Anas bukan sekadar jurnalis. Ia adalah saksi hidup yang mustahil dibungkam. Dan karena itulah, Israel memutuskan untuk mencoba membunuhnya—bukan sekali, tapi berkali-kali.
Baca Juga: Menlu Inggris David Lammy Isyaratkan Aksi Lanjutan Terhadap Israel Terkait Krisis Jalur Gaza
Bayangkan, ada satu rumah yang diledakkan lebih sering dari mercusuar militer: rumah Anas. Ayahnya dibunuh. Keluarganya diburu. Satu per satu, potongan hidupnya dihapuskan oleh rudal. Tapi Anas tetap berdiri, dengan jaket pers yang mungkin lebih tahan peluru daripada janji-janji PBB.
Apa yang membuat seorang wartawan menjadi ancaman? Sederhana: ia tidak bisa dibeli, tidak bisa ditakut-takuti, dan tidak bisa dipaksa untuk diam. Dalam dunia yang penuh jurnalis peliharaan, Anas adalah spesies langka—dan seperti semua spesies langka, ia kini dalam daftar target perburuan.
Juru bicara militer Israel bahkan menyebut namanya di depan kamera. Seolah-olah sedang membuka rapor murid nakal, padahal ini bukan sekolah, ini medan pembantaian. Dan Anas dianggap terlalu jujur untuk dibiarkan hidup.
Baca Juga: PM Malaysia Anwar Ibrahim Ketuk Hati Nurani Pemimpin Dunia Perjuangkan Perdamaian Gaza
Karena di dunia terbalik ini, jurnalis yang melaporkan pembunuhan dianggap lebih berbahaya daripada pelakunya.
Tapi mari kita jujur: ini bukan hanya tentang Anas. Ini tentang semua pena yang masih menolak tunduk, semua kamera yang masih berani menyala di tengah genangan darah.
Ini tentang bagaimana satu orang dari kamp pengungsian bisa mengguncang panggung global lebih dari seribu diplomat yang sibuk rapat tanpa hasil.
Anas adalah anak dari tanah yang terluka. Ia bukan produk institusi besar. Ia tidak lahir dari redaksi mewah dengan pendingin udara. Ia lahir dari derita, dari tenda, dari bunyi dentuman yang jadi alarm subuh.