Supriyanto Martosuwito: Karena Kita Suka Drama Bukan Fakta

Oleh Supriyanto Martosuwito*

ORBITINDONESIA.COM - Dunia jurnalisme, pada hari ini, membuktikan bahwa data bukan lagi raja. Judul bombastis dan narasi penuh emosi jauh lebih efektif ketimbang info keberhasilan panen dan swasembada beras.

Pernahkah Anda melihat berita viral dengan isi mendalam dan berbasis data? Jarang. Yang viral justru video pembenci mengaku peneliti, ocehan bujang lapuk pemuja filsafat, pakar tata negara yang lagi nganggur, yang teriak rusaknya demokrasi, rubuhnya konstitusi, dan moral bangsa atau celoteh dan rakyat korban konspirasi.

Kebenaran butuh kesabaran? Ya. Sementara kebencian bisa Anda konsumsi sambil menunggu soto ayam atau bakaran sate terhidang.

Maka dari itu, sebagai jurnalis, kami menghadapi tantangan: Bagaimana menyampaikan kebenaran dalam dunia yang lebih menyukai emosi ketimbang isi

Di era digital yang katanya tercerahkan oleh informasi dan data, kebanyakan dari kita ternyata lebih gampang percaya pada status penuh kebencian, ketimbang laporan panjang yang menjelaskan kebenaran secara faktual.

Kenapa bisa begitu? Jawabannya sederhana: karena narasi kebencian itu lebih sexy. Sementara fakta? Kaku, dingin, njelimet, dan yang paling parah: seringkali membosankan.

Sedangkan membenci itu sungguh memuaskan. Narasi kebencian memberi Anda pelampiasan yang cepat dan memuaskan, ketimbang paparan data fakta yang rumit.

Anda menganggur? Salahkan saja kaum pendatang - salahkan banjirnya investor China. Harga kebutuhan pokok naik? Salahkan negara dan konglomerat. Pejabat korup? Salahkan presiden, KPK, Polri dan Kejaksaan. Lalu semua selesai.

Anda tidak perlu membaca 30 halaman laporan Bank Dunia atau riset BPS. Cukup baca satu meme yang bilang: “Negara kita dijual ke asing!” dan setelah itu tidur nyenyak, karena sudah paham dan merasa benar.

Ironis, bukan? Tapi begitulah “kenyamanan kognitif” bekerja. Kita lebih suka jawaban sederhana - meski salah, daripada kebenaran yang rumit dan membuat tidak nyaman.

Sementara angka statistik butuh waktu untuk dipahami, emosi marah atau jijik bisa menyebar dalam hitungan detik. Bayangkan, Anda membuka Twitter (atau X, apalah itu namanya sekarang), dan melihat utas panjang tentang ketimpangan ekonomi. Menarik? Tidak. Tapi begitu ada akun yang menyebut "Kita miskin karena pejabat dan konglomerat serakah!" — boom! Ribuan likes, retweet, dan komentar datang bak banjir bandang.

Welcome to the jungle, saudara-saudara.

Ya! Kita lebih menyukai drama, bukan data. Narasi kebencian itu seperti sinetron: penuh konflik, musuh jelas, memancing emosinya untuk meledak. Cocok sekali untuk publik digital yang terlalu sibuk untuk berpikir, tapi selalu punya waktu untuk merasa tersinggung. Marah. Naik darah. Murka

Coba bandingkan di antara data fakta “Distribusi kekayaan di Indonesia timpang, 1 persen orang menguasai 45 persen aset.” dengan narasi kebencian: “Kita dijajah lagi, tapi kali ini oleh sesama anak bangsa yang rakus!”

Mana yang lebih Anda baca sampai habis?

Ini bukan hanya soal edukasi atau literasi, ini tentang preferensi dasar manusia terhadap cerita. Sejak ribuan tahun lalu, manusia lebih suka dongeng ketimbang perhitungan.

Yuval Noah Harari menyebutnya “imagined reality”—realitas khayalan yang mengikat kelompok lewat mitos, cerita, dan musuh bersama.

Dalam konteks media sosial, kita hanya mengganti dongeng suku primitif dengan video 60 detik penuh caci maki.

KETAHUILAH, ternyata algoritma mencintai kebencian. Platform-platform digital tidak dirancang untuk menyebarkan kebenaran. Mereka diciptakan untuk memperdagangkan atensi. Dan tahukah Anda apa yang paling memikat atensi? Konflik. Drama. Kebencian.

Jadi jangan salahkan rakyat biasa kalau mereka lebih suka konten provokatif. Salahkan algoritma yang dengan setia menyajikan konten penuh amarah setiap kali Anda membuka ponsel. Facebook, TikTok, X, semuanya tahu: emosi negatif menyebar 6 kali lebih cepat dibanding informasi netral.

Ini bukan teori konspirasi, ini data riset dari Center for Humane Technology.

Narasi kebencian bukanlah “kecelakaan digital”. Ia adalah produk unggulan algoritma. Konten Anda yang penuh data, kutipan ilmiah, dan referensi akademik? Maaf, itu hanya akan dikubur di bawah video seseorang yang teriak, "Dasar penjilat asing!"

Hal yang menyedihkan, masyarakat terbelah dalam tribalisme modern di antara ‘kita’ dan ’mereka’: Kita hidup dalam zaman kesukuan (tribal) versi modern. Kita muslim, mereka non muslim. Kita pribumi, mereka nonpribumi. Kita NKRI, mereka antek asing.

Dulu suku-suku melawan suku demi lahan. Sekarang grup WhatsApp melawan grup Telegram demi opini. Dunia disederhanakan jadi dua: “kita yang paling benar” dan “mereka yang pasti salah”.

Narasi kebencian memanfaatkan ini dengan sangat cerdik. Ia memberi Anda identitas, sekaligus musuh. Dan orang butuh musuh untuk merasa hidup. Apalagi kalau musuh itu bisa Anda hina dari kenyamanan sofa, sambil menyeruput kopi sachet. Demokrasi digital, katanya.

Lalu apa kabar fakta dan data? Sayangnya, ia tidak memihak siapa-siapa. Data sering menyodorkan kebenaran yang menyakitkan: kadang kelompok kita juga salah. Kadang kita pun bagian dari masalah. Dan siapa yang suka diberitahu bahwa ia salah?

*Supriyanto Martosuwito adalah wartawan senior dan pengamat budaya. ***