Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Meningkat: Di Mana Negara Saat Tubuh Luka?
- Penulis : Dewi Arum Nawang Wungu
- Sabtu, 28 Juni 2025 18:35 WIB

ORBITINDONESIA.COM – Satu per satu tubuh perempuan dan anak kembali menjadi statistik. Di Komnas Perempuan, angka kekerasan berbasis gender pada tahun 2024 melonjak hingga 470 ribu kasus. Di KPAI, pelaporan kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga dan sekolah naik drastis 37% dibanding tahun sebelumnya. Namun, apa yang terlihat dari negara? Tak lebih dari protokol basa-basi, seremonial Hari Ibu, dan janji payung hukum yang selalu terlambat.
Sebagian besar korban kekerasan—baik yang mengalami pemukulan, pelecehan seksual, eksploitasi ekonomi, hingga kekerasan digital—tidak menemukan jalur aman untuk bersuara. Di laporan Komnas Perempuan 2024, hanya 7% kasus yang benar-benar masuk ke proses hukum. Sisanya lenyap di tengah tekanan keluarga, stigma sosial, dan sistem hukum yang berbelit.
Lebih menyakitkan, mayoritas pelaku adalah orang terdekat: ayah, suami, paman, guru, bahkan aparat. Tapi narasi publik masih menganggap kekerasan sebagai masalah rumah tangga, bukan persoalan publik. Dalam logika negara patriarkal, tubuh perempuan dan anak masih dianggap milik keluarga, bukan subjek hukum yang merdeka dan patut dilindungi.
“Kami sudah melapor ke polsek, tapi malah disarankan menyelesaikan secara kekeluargaan.” Ini kalimat yang terlalu sering terdengar dari korban. Ada sistem impunitas yang merajalela. Negara hadir bukan untuk membela, tapi untuk menenangkan agar jangan ribut. Maka tak mengherankan jika 93% kasus KDRT tidak pernah dibawa ke jalur hukum, sebagaimana diungkap Tirto.id, Mei 2025.
Kita hidup dalam republik yang memuliakan keluarga secara simbolik, tapi gagal melindungi orang-orang paling rapuh di dalamnya. Negara rajin mengkampanyekan “keluarga harmonis” tapi tutup mata saat harmoni itu dibangun di atas kekerasan psikologis dan fisik yang membusuk bertahun-tahun.
Lalu, siapa yang benar-benar hadir bagi korban? Jawabannya: komunitas kecil, pekerja sosial akar rumput, konselor perempuan yang dibayar seadanya, dan relawan yang mendampingi proses panjang healing. Ironisnya, banyak lembaga swadaya masyarakat yang justru dikebiri karena dianggap “menjelekkan wajah bangsa” hanya karena mereka berani mendampingi korban secara jujur.
Baca Juga: Waduh, Polres Bekasi Tangkap Badut Mesum Pelaku Kekerasan Seksual pada Dua Anak
Pemerintah daerah pun sering kali tidak memiliki shelter darurat yang layak. Banyak korban yang harus kembali ke rumah pelaku karena tak ada tempat aman. Undang-undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) sudah disahkan, tapi pelaksanaannya lambat dan aparat penegak hukum belum dilatih dengan perspektif gender dan trauma-informed approach.
Kehadiran negara tidak bisa hanya dinilai dari jumlah undang-undang. Ia diukur dari respons cepat saat seorang anak mengadu bahwa gurunya memeluknya secara tidak pantas. Dari keberanian aparat menahan suami pejabat yang menyiksa istri. Dari sistem hukum yang memihak pada korban, bukan mempertanyakan mengapa ia tak melawan sejak awal.
Bahkan dalam konteks spiritualitas negara, tubuh manusia seharusnya dianggap sakral. Tapi dalam praktik birokrasi, tubuh perempuan dan anak diperlakukan sebagai catatan administrasi, bukan ruang pengalaman dan luka. Di sinilah kita menemukan betapa absennya keadilan yang berpihak pada mereka yang tak punya kuasa.
Kita perlu perubahan radikal: mulai dari pendidikan aparat yang berperspektif korban, alokasi anggaran khusus untuk shelter dan layanan psikososial, hingga media yang tidak menyepelekan trauma dengan headline seperti “diduga cemburu” atau “karena emosi sesaat.” Setiap tubuh yang terluka adalah panggilan etis bagi negara untuk berubah.