DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mengapa Mahkamah Konstitusi Memisahkan Pemilu Nasional dan Lokal Mulai 2029?

image
Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)

Dengan adanya perimpitan itu, tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu menjadi tak terelakkan. Dalam batas penalaran yang wajar, kondisi yang demikian berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, Mahkamah juga menyoroti sejumlah catatan dari penyelenggaraan pemilu nasional yang terlalu berdekatan dengan pemilu lokal, termasuk salah satunya pelemahan pelembagaan partai politik.

Melemahnya pelembagaan partai politik akibat pemilu berturut-turut disoroti Mahkamah dari segi ketidakcukupan waktu bagi partai menyiapkan kadernya. Dalam waktu instan, partai politik mesti menyiapkan ribuan kader untuk berkontestasi di semua jenjang pemilihan.

Baca Juga: Presiden Prabowo Hadiri Sidang Istimewa Laporan Tahunan 2024 Mahkamah Agung, Rabu Pagi

Akibatnya, alih-alih menjaga idealisme dan ideologi, partai menjadi mudah terjebak dalam pragmatisme. Partai pun tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis. Hasilnya? Partai lebih memperhitungkan popularitas calon non-kader karena tak ada lagi kesempatan, waktu, dan energi untuk mempersiapkan kader sendiri.

Apabila kondisi itu terus dibiarkan, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik yang dipilih rakyat justru didasarkan pada sifat transaksional sehingga pemilu menjadi jauh dari proses yang ideal dan demokratis.

Rakyat yang utama

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Diskualifikasi Calon Bupati Pesawaran Lampung Aries Sandi Darma Putra

Kedaulatan rakyat dalam pesta demokrasi juga dipertimbangkan betul oleh Mahkamah. Pemilu anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota yang berdekatan dengan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat untuk menilai kinerja dari pejabat terpilih.

Dengan rentang waktu yang berdekatan, ditambah dengan penggabungan pemilu DPRD dalam pemilu DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden mengakibatkan masalah pembangunan daerah tenggelam di tengah isu nasional. Padahal, masalah pembangunan daerah perlu tetap dijadikan sebagai fokus pada tahapan pemilu lokal.

Di samping itu, Mahkamah memandang, pemilu beruntun dalam tahun yang sama—seperti tahun 2024—berpotensi membuat pemilih menjadi jenuh. Kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilu DPR, DPD, presiden/wakil presiden, dan DPRD.

Baca Juga: Mahkamah Konstitusi Korea Selatan Gelar Persidangan Akhir Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol

Bahkan, MK menyebut pemilih menjadi tidak fokus saat hendak mencoblos di tempat pemungutan suara. Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan, waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi tersebut, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilu.

Halaman:

Berita Terkait