DECEMBER 9, 2022
Kolom

Menavigasi Dampak Deflasi dan Membangun Solusi

image
Warga mengecek meteran listrik di Rusun Benhil 2, Jakarta, Senin, 3 Februari 2025. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat program diskon tarif listrik 50 persen menjadi penyebab utama deflasi bulanan pada Januari 2025 sebesar 0,76 persen. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.

ORBITINDONESIA.COM - Deflasi sebesar 0,76 persen pada Januari 2025 yang diumumkan Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mungkin terdengar seperti kabar baik. Harga barang dan jasa yang turun seharusnya meringankan beban masyarakat.

Namun sejatinya, di balik angka deflasi ini, ada sinyal yang lebih mengkhawatirkan, yaitu daya beli masyarakat melemah, konsumsi melambat, dan roda ekonomi kehilangan momentum.

Dalam kondisi normal, penurunan harga terjadi karena peningkatan produktivitas atau inovasi yang membuat barang lebih murah. Tetapi kali ini, penyebabnya berbeda. Deflasi yang terjadi bukanlah cerminan ekonomi yang sehat, melainkan refleksi dari permintaan masyarakat yang lesu.

Baca Juga: Dihantam Inflasi Gila gilaan, Ekonomi Eropa Kolaps, Menjadi Miskin, Tidak Sombong Lagi

Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), mengalami tekanan serius. Masyarakat lebih memilih menahan belanja, mengutamakan kebutuhan pokok, atau bahkan menunda pembelian barang-barang sekunder dan tersier.

Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis Bank Indonesia terus menurun sejak pertengahan 2024, menandakan pesimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi.

Jika pada 2019 kelas menengah mencakup 21,5 persen dari populasi, kini angkanya turun menjadi 17,1 persen. Sekitar 10 juta individu yang dulu memiliki daya beli cukup kuat kini berada dalam ketidakpastian ekonomi.

Baca Juga: Penerapan Zero ODOL Picu Kenaikan Inflasi Tahun 2023 Ini

Mereka bukan kelompok miskin yang mendapat bantuan sosial, tetapi juga bukan lagi kelas menengah yang dapat berkontribusi besar pada konsumsi.

Bagi dunia usaha, ini adalah krisis yang berkembang. Sektor ritel dan manufaktur, yang sangat bergantung pada konsumsi domestik, menghadapi tantangan besar. Indeks penjualan ritel terus menurun sejak kuartal ketiga 2024, dengan beberapa pengusaha melaporkan penurunan penjualan hingga 30 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Dengan berkurangnya permintaan, banyak usaha kecil dan menengah (UKM) kesulitan bertahan. Sebagian terpaksa mengurangi produksi, sementara yang lain harus memangkas tenaga kerja, menciptakan efek domino yang semakin memperparah pelemahan daya beli.

Baca Juga: Kabar Baik Ekonomi RI: Defisit APBN Berkurang, Inflasi Rendah

Tidak hanya itu, deflasi juga berdampak pada penerimaan negara. Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang menjadi indikator aktivitas konsumsi, menunjukkan perlambatan.

Halaman:

Berita Terkait