DECEMBER 9, 2022
Kolom

Mempertanyakan Joint Development (Pengembangan Bersama) RI dengan China dalam Joint Statement

image
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional UI (Foto: ANTARA)

Oleh Hikmahanto Juwana*

Presiden Prabowo dan Presiden Xi Jinping telah mengeluarkan Joint Statement pada tanggal 9 November lalu.

Dalam butir 9 dengan judul "The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation" disebutkan bahwa "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims"

Baca Juga: Presiden Prabowo: Indonesia Ingin Belajar Cara China Mengentaskan Kemiskinan

Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?

Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan.

Untuk diketahui hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari China. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS dimana Indonesia dan China adalah negara peserta.

Baca Juga: Wow, Presiden Xi Jinping Tegaskan Dukungan China pada Pemerintahan Prabowo

Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.

Namun dengan adanya joint statement 9 November lalu berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus. Perlu dipahami Joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling berktumpang tindih.

Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia dimana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China. Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China. Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China.

Baca Juga: Presiden Prabowo Subianto Berterima Kasih pada Xi Jinping Atas Investasi China di Indonesia

Bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Halaman:
1
2

Berita Terkait