DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Air Mata Jurnalis Perang, Inspirasi dari Film Lee

image
Catatan Denny JA: Air Mata Jurnalis Perang, Inspirasi dari Film Lee. (istimewa)

ORBITINDONESIA.COM - “Korban perang tidak selalu jatuh di medan tempur; banyak yang tenggelam dalam kengerian yang tak terucapkan. Mata yang melihat kebrutalan menyimpan luka yang membisu, namun berdarah selamanya."

Perang adalah kehancuran yang merambah jauh ke dalam jiwa manusia. Tidak hanya pada mereka yang terjebak di dalamnya, tetapi juga pada saksi-saksi mata yang merekam, melaporkan, dan mencoba mengerti. 

Dalam psikologis, ada istilah PTSD. Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) akibat perang terjadi ketika individu mengalami trauma mendalam dari peristiwa brutal, memicu gangguan psikologis jangka panjang. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Ilmu Menjadi Tanah Air Pengganti

Gejala termasuk kilas balik, mimpi buruk, kecemasan, dan kesulitan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi seorang jurnalis perang, pertarungan tidak hanya di medan tempur, tetapi juga di dalam diri sendiri—di antara keinginan untuk memberitahu dunia dan trauma yang terus menghantui. 

Lee Miller, seorang wanita yang menjalani kehidupan luar biasa, adalah bukti hidup bahwa perang menghancurkan lebih dari yang tampak di permukaan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Untuk Mereka yang Terbuang di Tahun 1960-an

Luka Batin Sang Saksi Mata

Lee Miller, seorang wanita yang pernah menjadi ikon kecantikan di dunia mode. Ia menjalani transformasi hidup yang mengantarkannya menjadi salah satu saksi terpenting dari kehancuran manusia selama Perang Dunia II. 

Ia tidak hanya menyaksikan pertempuran di garis depan sebagai jurnalis perang, tetapi juga menyaksikan kekejaman di kamp konsentrasi Nazi yang dibebaskan. Pengalaman-pengalaman ini meninggalkan luka mendalam pada batinnya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Seniman yang Tak Kembali

Miller, yang sebelumnya dikenal sebagai model dan fotografer fesyen, tumbuh menjadi seseorang yang menarik diri dari masyarakatnya. Kengerian perang memisahkannya dari kenyataan sehari-hari, menciptakan jarak antara dirinya dan dunia yang pernah dikenalnya. 

Bahkan hubungannya dengan anaknya, Antony Penrose, menjadi rumit. Miller yang dulu ceria dan penuh energi menjadi pribadi yang sulit didekati, seorang ibu yang terluka oleh apa yang dilihatnya selama perang.

Hijrah dari Model ke Jurnalis Perang

Baca Juga: Catatan Denny JA: Memahami Masyarakat Melalui Sastra

Perjalanan hidup Lee Miller penuh dengan perubahan. Lahir di Poughkeepsie, New York, pada 1907, Miller memulai kariernya sebagai model. 

Pada usia muda, dia menarik perhatian Condé Nast, pendiri Vogue, yang menjadikannya wajah sampul majalah tersebut. Namun, kehidupan sebagai model tidak cukup baginya. 

Keinginannya untuk menjadi kreator, bukan hanya objek, membawanya ke Paris, di mana dia bergabung dengan dunia seni avant-garde dan belajar fotografi di bawah bimbingan Man Ray.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Makna Hidup di Era Algoritma

Di Paris, Miller menjalin hubungan dengan komunitas seniman surealis, tetapi jiwanya terus meronta mencari makna lebih. Setelah kembali ke New York dan membuka studio fotografi, hidupnya kembali berubah ketika Perang Dunia II meletus. 

Miller memutuskan untuk menjadi jurnalis perang, meninggalkan gemerlap dunia mode dan seni untuk merekam kengerian yang tak terbayangkan. 

Sebagai fotografer perang untuk Vogue, dia meliput berbagai peristiwa penting di Eropa—dari pembebasan Paris hingga kamp konsentrasi Dachau dan Buchenwald.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Wahai Para Esoteris, Berkumpulah

Trauma di Medan Perang

Momen yang mungkin paling membekas dalam hidupnya adalah ketika dia memasuki kamp-kamp konsentrasi yang baru dibebaskan. Foto-foto yang dia ambil di Dachau dan Buchenwald adalah bukti visual yang tidak bisa dipungkiri dari kekejaman Nazi. 

Potret-potret wajah para tahanan yang kurus kering, tubuh-tubuh yang hancur, dan tumpukan mayat menciptakan gambaran yang tak terlupakan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Pertama Hidup Bermakna, Hubungan Personal

Namun, Miller bukan hanya menyaksikan kengerian ini melalui lensa kameranya. Dia hidup bersama trauma yang ditinggalkan oleh pengalaman-pengalaman itu. 

Setelah perang, dia menderita depresi berat.  Ketidak-mampuannya  untuk memproses semua kekerasan dan kehancuran yang dia lihat membawanya semakin menjauh dari dunia, bahkan dari keluarganya. 

Setiap hari adalah pertarungan untuk melupakan atau mencoba memahaminya.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Kedua Hidup Bermakna, Positivity

Karya Legendaris Lee Miller

Karya-karya Lee Miller tidak hanya dikenal karena kualitas teknis atau keindahan artistiknya, tetapi karena kemampuannya menangkap momen-momen manusiawi di tengah kehancuran. 

Foto dirinya di bak mandi Hitler di apartemen pribadi sang diktator di Munich adalah salah satu gambar paling ikonik dari zamannya. Dalam foto tersebut, Lee duduk di bak mandi, sepatu bot yang kotor tergeletak di lantai—sebuah simbol ironi, keangkuhan, dan kemenangan. 

Baca Juga: Catatan Denny JA: Jokowi dan Prabowo, Hubungan Unik dalam Politik Indonesia

Foto itu melambangkan bagaimana perang dapat membawa seseorang dari kemewahan ke kengerian.

Namun, meskipun karyanya sangat dihargai, Lee menyembunyikan sebagian besar hasil karyanya setelah perang. Foto-foto, catatan, dan artefak lainnya disimpan di loteng rumahnya di Inggris selama bertahun-tahun. 

Dia enggan berbicara tentang perang, seolah-olah menyimpan karya-karyanya juga berarti menyimpan kenangan yang paling menyakitkan.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Ketiga Hidup Bermakna, Passion

Penemuan Karya-Karyanya

Setelah Lee Miller meninggal pada 1977, anaknya, Antony Penrose, menemukan koleksi karya ibunya yang luar biasa tersembunyi di loteng. 

Antony, yang selama ini tidak sepenuhnya mengerti penderitaan yang dialami ibunya, akhirnya mulai memahami trauma dan kekuatan yang ada di balik karya-karya tersebut. 

Penemuan ini membangkitkan kembali minat publik terhadap Lee Miller sebagai salah satu fotografer dan jurnalis perang terbesar dalam sejarah.

Kisah penemuan karya-karyanya ini, bagaimanapun, adalah simbol dari hubungan yang tidak mudah antara seorang ibu dan anaknya. 

Antony tumbuh tanpa mengetahui kedalaman trauma yang dialami ibunya, dan penemuan ini adalah cara untuk mendekatkan dirinya kepada warisan dan luka ibunya yang selama ini tersembunyi.

Film Lee (2024)

Kisah hidup Lee Miller kini diangkat ke layar lebar dalam film berjudul Lee (2024). Film ini disutradarai oleh Ellen Kuras, dengan Kate Winslet memerankan Lee Miller. 

Winslet membawa karakter Lee Miller dengan kekuatan emosi yang mendalam, menangkap transformasi seorang wanita dari model cantik menjadi jurnalis perang yang tabah namun terluka.

Penulisan skenario dilakukan oleh Liz Hannah dan John Collee, yang berhasil menghadirkan kompleksitas karakter Lee dalam menghadapi kengerian perang dan kehidupan pascaperang. 

Film ini tidak hanya memotret peristiwa sejarah, tetapi juga menggali aspek batin dari seorang wanita yang terperangkap dalam dilema moral dan emosional saat menjadi saksi dari kebengisan manusia.

Dengan sinematografi yang megah dan penceritaan yang penuh empati, Lee membawa penonton ke dalam kehidupan pribadi dan profesional yang sangat dinamis, penuh kontradiksi, dan sangat manusiawi. 

Film ini menunjukkan bagaimana Lee Miller tidak hanya mengabadikan sejarah, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah itu sendiri, dengan semua luka dan kebanggaan yang menyertainya.

-000-

Lee Miller adalah simbol dari keberanian manusia untuk menghadapi yang terburuk, dan keengganan untuk mengungkapkan rasa sakit yang paling dalam. 

Dia adalah saksi yang membawa pulang kengerian perang dalam foto-foto, tetapi juga membawa pulang trauma yang mengubah hidupnya.

Kisah hidupnya pengingat bahwa saksi mata seringkali memikul beban yang sama beratnya dengan korban. Dan meskipun mereka mungkin mencoba menyembunyikannya, seperti Lee menyimpan foto-fotonya di loteng, akhirnya kebenaran itu selalu muncul ke permukaan. 

Karya-karyanya, yang sempat tersembunyi, kini abadi, berbicara tentang kehancuran dan keindahan, keberanian dan kelemahan, kemenangan dan kesakitan.

Lee Miller mengajarkan kita bahwa perang tidak pernah hanya tentang medan tempur. Ia juga tentang perang batin, yang terus berlanjut bahkan setelah senjata-senjata berhenti ditembakkan. 

Sebagai saksi, dia tidak hanya mengabadikan sejarah, tetapi juga menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang rapuh, yang meskipun terlihat kuat, tetap bisa patah di dalam.

Jakarta, 24 Oktober 2024 ***

CATATAN

(1) Penyakit yang biasa dialami oleh mereka yang terlibat dalam perang brutal.

Berita Terkait