DECEMBER 9, 2022
Nasional

Rahmat Bagja: Bawaslu Minta KPU Waspadai Penyalahgunaan Data Orang Meninggal di TPS

image
Tangkapan layar Ketua Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu RI Rahmat Bagja memberikan paparan saat acara pembukaan Forum Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk Wilayah Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 27 Juni 2024 sebagaimana disiarkan kanal YouTube Kemenko Polhukam RI. ANTARA/Genta Tenri Mawangi.

ORBITINDONESIA.COM - Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengingatkan penyelenggara pilkada, termasuk yang bernaung di bawah KPU, agar mewaspadai kemungkinan penyalahgunaan data orang meninggal untuk memilih pasangan calon tertentu saat pemungutan suara di TPS.

Rahmat Bagja, saat berbicara dalam acara Forum Koordinasi Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk Wilayah Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis, 27 Juni 2024, menyebut insiden itu pernah terjadi saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020.

“Di Pilkada 2020, ada orang yang sudah meninggal bisa memilih di TPS (tempat pemungutan suara.). Ada surat suaranya, ada tanda tangan di daftar hadirnya. Jadi, KTP-nya digunakan oleh orang lain, sengaja, karena KTP-nya (foto) sudah buram,” kata Rahmat Bagja dalam acara itu sebagaimana disiarkan kanal YouTube Kemenko Polhukam RI.

Baca Juga: Pakar Hukum USU, Edi Yunara: Integritas Anggota KPU dan Bawaslu Penting untuk Sukseskan Pilkada 2024

Dia melanjutkan, setelah ada pemeriksaan, yang berlangsung setelah pemungutan suara selesai, ternyata orang yang datanya disalahgunakan itu, meninggal dunia 4 hari sebelum pemungutan suara. Alhasil, Mahkamah Konstitusi pun memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) di TPS yang bermasalah tersebut.

“Horor itu. Itu hanya terjadi di Indonesia,” kata Ketua Bawaslu RI.

Demi mencegah itu, meskipun kasus tersebut kerap ditemukan dalam tiap pemungutan suara, maka KPU dan Bawaslu sengaja mengutamakan penduduk yang tinggal di lingkungan TPS sebagai anggota KPPS dan panitia pengawas.

Baca Juga: Lolly Suhenty: Bawaslu RI Hormati Putusan Mahkamah Agung tentang Batas Minimal Usia Calon Kepala Daerah

“Itu kenapa petugas KPPS harus penduduk setempat supaya mengenal siapa yang memilih pada saat itu. Ini kemudian wisdom-nya teman-teman KPU dan Bawaslu dalam memilih penyelenggara ad hoc di bawahnya,” kata dia.

Bagja lanjut mengungkapkan, pada Pilkada 2020 ada 12 putusan pengadilan terkait pelanggaran memberikan suara lebih dari sekali di satu TPS atau lebih dari satu TPS, dan empat putusan terkait pelanggaran menyuruh orang lain yang tidak berhak memilih memberikan suara di satu TPS atau lebih.

Pelanggaran-pelanggaran itu masuk dalam pelanggaran pidana terkait pemilu dan pemilihan kepala daerah.

Baca Juga: Lolly Suhenty: Bawaslu Melihat Ada Potensi Gesekan di Tahapan Pilkada 2024

Dalam kesempatan yang sama, Bagja juga mengingatkan ada kemungkinan pelanggaran terkait pemilihan terjadi saat rekapitulasi suara. Dia pun meminta penyelenggara, termasuk pengawas di TPS, mewaspadai suara nol.

“Yang namanya nol dalam rekapitulasi itu besar. Teman-teman polisi, jaksa harus dikasih tahu ini biar bukan cuma joke (candaan, red.) penyelenggara. Jadi nol itu kadang-kadang bisa jadi tuyul. Nol-nya tiba-tiba 100, nol-nya hilang,” kata Bagja.

Dia melanjutkan kemungkinan pengaturan suara itu dapat terjadi pada waktu-waktu rentan, yaitu saat menjelang pagi ketika penyelenggara dan pengawas mulai lelah dan mengantuk.

Baca Juga: Bawaslu Lampung: Jangan Sampai Ada Rakyat Tak Terdaftar Dalam Daftar Pemilih Tetap di Pilkada Serentak 2024

“Itu terjadi biasanya saat rekapitulasi suara menjelang pagi. Pengawas terkantuk-kantuk, nol-nya hilang. Kemungkinan itu terjadi, dan saksinya sudah tidur misalnya. Kemungkinan-kemungkinan itu terjadi sehingga trennya penyelenggara ad hoc-nya bermasalah,” kata dia.

Di hadapan polisi, jaksa, anggota Bawaslu saat forum koordinasi Sentra Gakkumdu itu, Bagja menyebut total ada 5.334 kasus pelanggaran terkait Pilkada 2020 yang ditangani Bawaslu. Dari jumlah itu, 1.532 terkait pelanggaran administrasi, 292 terkait pelanggaran kode etik, 182 terkait pelanggaran pidana pemilihan, 1.570 kasus terkait pelanggaran hukum lain terkait pemilihan, dan 1.828 kasus ditetapkan sebagai bukan pelanggaran.

Dari pelanggaran-pelanggaran itu, ada 161 kasus yang sampai pada putusan pengadilan negeri, dan 34 kasus sampai putusan pengadilan tinggi.***

Sumber: Antara

Berita Terkait