DECEMBER 9, 2022
Kolom

Abustan: Mencegah Jebakan Paradoks SDA Indonesia

image
Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (Foto: koleksi pribadi)

Oleh: Abustan

Dalam terminologi ilmu hukum, dikenal istilah welfare state (negara kesejahteraan). Terminologi ini pada dasarnya ditujukan sebagai suatu konsep yang menunjukkan keinginan (willingness) para pendiri negara (founding fathers) untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya.

Lebih lanjut diuraikan bahwa negara kesejahteraan diartikan sebagai konsep pemerintahan di mana negara memainkan peran kunci dalam menjaga dan memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya.

Baca Juga: Dr H Abustan: Civil Society Pemilu 2024 yang Lebih Berkualitas

Begitu pula halnya dengan mendefinisikan negara kesejahteraan sebagai sebuah sistem di mana pemerintahan menyatakan diri  bertanggung jawab untuk menyediakan jaminan sosial dan ekonomi bagi penduduk melalui sarana pensiun, tunjangan jaminan sosial, layanan kesehatan gratis, dan aspek pendidikan.

Konsepsi tentang negara kesejahteraan, yang menjadi elemen utama dan yang menentukan dalam realisasinya adalah peran aktif negara dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang ditujukan untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 ayat (2) dan (3).  Serta menghilangkan kesenjangan (gap) ekonomi dengan memberikan jaminan kepada warga yang tidak mampu menjadi tanggung jawab negara.

Namun, dalam perjalanan nya (praktik) acapkali upaya membangun kesejahteraan tidak terlepas dari banyak kekurangan/kelemahan bahkan kenyataannya terjadi penyimpangan.

Baca Juga: Abustan: Belajar dari Demokrasi Desa?

Sebagai contoh apa yang menjadi diskursus publik akhir-akhir ini kebijakan pemerintah (negara) yang tidak memberikan proteksi (pemihakan) kepada rakyat kecil. Mulai dari kebijakan UKT yang memberatkan mahasiswa, Tapera, dan memberikan IUP pertambangan kepada ormas.

Jadi, kontroversi-konroversi kebijakan akhir-akhir ini justru "menjauhkan rakyat" dari makna kesejahteraan. Dan, ini sebuah ironi sebab Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang subur dan melimpah.

Ironis tentunya, sebab jika dulu kekayaan alam Indonesia hanya dinikmati oleh penjajah, sekarang kekayaan Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Hal itu bisa dilihat dana yang begitu besar di pengelolaan timah dikorupsi oleh segelintir orang sehingga negara di rugikan Rp271 trilyun yang kemudian berkembang hasil pemeriksaan kejaksaan menjadi sekitar Rp300 trilyun.

Baca Juga: Abustan: Keprihatinan Kampus Selamatkan Demokrasi

Padahal, dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) berbagai UU yang mengatur hal tersebut telah menjabarkan norma hukum dasar. 

Secara eksplisit, UU dimaksud adalah: UU tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. UU tentang Minyak dan Gas Bumi, UU tentang Sumber Daya Air, UU tentang Kehutanan, dan berbagai UU terkait lainnya.

Penyusunan UU terkait dengan pengelolaan SDA ini, merupakan "instrumen modal" yang berasal dari kekayaan alam (natural resouces) yang harus dikelola oleh tujuan negara dengan tujuan untuk memakmurkan / menyejahterakan rakyat dengan memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan.

Baca Juga: Abustan: Wajah Rakyat di Puncak Pemilu

Bahkan, UUD 1945 memperhatikan keseimbangan antara tujuan untuk menyejahterakan rakyat di satu sisi, namun pada saat yang bersamaan di sisi lain, melakukan langkah-langkah pencegahan (preventif) agar eksploitasi alam yang berlebihan dapat diminimalisasi (dihindarkan). Efisiensi dan efektifitas dimaksudkan demi masa depan bagi generasi yang akan datang. 

Prospek generasi pelanjut bangsa haruslah terjadi "linieritas" dengan kekayaan alam Indonesia. Sebab, jika tidak itu berarti kekayaan alam (SDA) akan menjadi "jebakan" dan  paradoks SDA Indonesia.

Seperti istilah yang pernah di populerkan oleh Ricard Auty ketika meneliti negara-negara Afrika, adalah suatu fenomena di mana negara-negara yang kaya SDA gagal mengambil manfaat dari "berkah kekayaan alam" yang mereka miliki yang dicirikan dengan fakta bahwa pertumbuhan ekonominya rendah, masyarakatnya miskin dan tata kelola pemerintahannya buruk.

Baca Juga: Abustan: Imaji Demokrasi, Kembali ke Rumah Sendiri

Oleh karena itu, perlunya mencegah atau memastikan bahwa kekayaan SDA bukanlah fenomena paradoks berkelimpahan (paradox of plenty) tetapi keberadaannya benar-benar haruslah memastikan adanya manfaat (multiplier effect) yang menguntungkan masyarakat setempat, sehingga rakyat selaku WNI dapat turut berperan menjawab tantangan sejarah, menjadikan Indonesia bangsa yang kuat, terhormat , adil dan makmur.

Jakarta, 13 Juni 2024

*Abustan, adalah pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta. ***

Berita Terkait