DECEMBER 9, 2022
Kolom

Melintasi Batas: Lukisan AI Denny JA dan Era Baru Seni Lukis Indonesia

image
Elza Peldi Taher dan lukisan Denny JA (Foto: Koleksi pribadi)

Oleh: Elza Peldi Taher*

ORBITINDONESIA.COM - Di Hotel Mahakam 24 Residence,  Blok M, dipamerkan lukisan-lukisan  karya dari owner hotel, Denny JA.  Ada 182 lukisan dipamerkan di tujuh lantai yang berbeda.

Pada keseluruhan lantai Denny JA  memajang lukisannya yang merekam  kejadian-kejadian bersejarah, mulai dari peristiwa pilpres 2024,  covid,  derita anak-anak Palestina akibat  keganasan Israel, pemimpin perdamaian, tokoh tokoh tasawuf, filantropi dan  spiritual dunia.

Baca Juga: Denny JA: Sastra Menjadi Alat Diplomasi Anarbangsa yang Efektif, Termasuk Mendamaikan Israel dan Palestina

Di  setiap lantai dan Lorong lantai menuju lantai lain ia ditampilkan lukisan lukisan  yang mengambil tema  berbeda, sehingga mengundang keinginan tahu orang  melihat ke lantai yang lain. 

Seperti karya tulisnya, lukisan-lukisan tersebut menggambarkan ketertarikan Denny JA yang mendalam terhadap politik, spiritualitas, tasawuf, anti diskriminasi dan kesetaraan manusia.

Melalui kanvasnya, Denny JA menyampaikan rasa hormat dan kagumnya kepada tokoh-tokoh besar seperti Gandhi, Mandela, Bunda Teresa dan dan figur-inspiratif lainnya yang telah membentuk dunia dengan memajang lukisan mereka secara eksklusif di lantai enam.

Baca Juga: Elza Peldi Taher: Denny JA, Penulis Lari Cepat 100 Meter

Dalam proses kreatifnya, Denny JA  menggunakan asisten yang tak lazim: Artificial Intelligence. Sejak tahun 2022, lukisan-lukisannya telah diterbitkan dalam sebuah buku yang memperlihatkan kolaborasi cemerlang antara kecerdasan buatan dan indera artistik sang seniman. Dengan menggunakan lima aplikasi kecerdasan buatan, ia menciptakan karya-karya yang mengagumkan.

Tetapi, keunikan yang paling mencolok adalah tempat penyelenggaraan pameran lukisannya. Tidak seperti pameran seni biasanya di galeri atau tempat-tempat pameran resmi lainnya, pameran Denny JA diselenggarakan di tempat yang tak lazim: hotel Mahakam 24 Residence.

Dan yang lebih menarik lagi, pameran ini bukanlah pertunjukan sesaat.  Lukisan-lukisan Denny JA akan bersemayam di sana selamanya di hotel miliknya, menghadirkan keindahan y bagi siapa pun yang memasuki tempat itu.

Baca Juga: Rangking Jokowi dan Prabowo dalam Sejarah Presiden: Pengantar Denny JA di Buku Kumpulan 76 Penulis tentang Pilpres

Setiap karya, baik itu sebuah buku, karya seni, novel, atau lukisan, adalah manifestasi dari pemikiran, ideologi, dan pandangan hidup sang penciptanya. Ia lahir dari proses panjang yang menggambarkan kehidupan, pengalaman, dan imajinasi  sang penulis.  Pesan itu nampak jelas saat kita  menaiki tangga demi tangga dari 7 lantai hotel tersebut. 

Menaiki setiap lantai dari tujuh lantai Mahakam 24 Residence  itu seperti menjelajahi lapisan-lapisan emosi yang berbeda, karena setiap lantai menampilkan tema yang beragam. Seperti melalui sebuah perjalanan panjang, setiap langkah di lantai tersebut membawa penemuan baru, menggugah hati dan pikiran dengan keindahan dan makna yang terkandung dalam lukisan yang dipamerkan.

Di lobi hotel, tepatnya di ruang Cafe, pengunjung akan disambut oleh kehadiran grup musik legendaris, termasuk Koesplus, yang diabadikan dalam empat lukisan eksklusif. Kehadiran ini tidak mengherankan, mengingat Denny telah menjadi penggemar Koesplus sejak masa muda.

Baca Juga: Memenangkan Pilpres 5 Kali Beruntun: Pengantar Denny JA di Buku Transkripsi 100 Video Ekspresi Data

Saat melangkah ke lantai dua, pengunjung disambut oleh lukisan  yang menggambarkan Indonesia pada era Covid,  suasana Pilpres, dengan  semua tokoh politik yang bertarung   lengkap di dalamnya. Lantai berikut kita akan menemukan lukisan pelukis terkenal seperti Van Gogh, Dan Gustav, Picasso.

Lantai enam menampilkan lukisan tokoh-tokoh besar seperti Mandela, Bunda Teresa, Gandhi, Einstein, Penyaliban Yesus, dan George Washington, yang telah memberikan kontribusi besar dalam membangun dunia yang damai. Lukisan tertata rapi dan epic menunjuk  penghormatan kepada mereka yang telah meninggalkan jejak mendalam dalam peradaban. 

Yang menarik di lantai enam, kuping tokoh tokoh dunia seperti Gandhi, Einstein, Mandela, dan Bunda Teresa sangat besar dan lebar. Mungkin ini merupakan simbol kepekaan dan keterbukaan mereka terhadap suara-suara dan pandangan dari orang-orang di sekitar mereka. Kuping yang besar dapat mewakili kemampuan mereka untuk mendengarkan dengan teliti, meresapi ide-ide baru, serta menghargai perspektif yang berbeda

Baca Juga: Melawan Diskriminasi dengan Puisi: Kata Pengantar Denny JA untuk Kumpulan Puisi Anti Diskriminasi dan Pro Toleransi

Saat melangkah naik menuju lantai tujuh, pengunjung disuguhkan dua  lukisan yang menggambarkan realitas menyedihkan:  anak belia, satu dari Pakistan, satu dari India, terlihat sedang menikah. Dalam lukisan  itu, wajah anak-anak tersebut terlihat dengan ekspresi kemarahan dan kesedihan, sementara di belakang mereka, keluarga mereka terlihat sangat gembira. 

Lukisan yang  merupakan kemarahan  Denny terhadap perkawinan anak di bawah umur,  menggambarkan betapa tragisnya situasi di mana anak-anak kehilangan masa kecil mereka dan terjebak dalam pernikahan yang seharusnya mereka tidak hadapi. 

Sampailah  pada puncak  lantai tujuh, pengunjung disambut oleh aneka lukisan yang menampilkan anak yang gembira sambil menatap ke atas. Tatapan penuh harapan tersebut adalah sebuah simbol dari pandangan ke masa depan yang dipenuhi dengan impian. Inilah pesan utama yang ingin disampaikan oleh Denny: sebuah dunia yang membawa kegembiraan bagi anak-anak, sebuah dunia yang membuka pintu impian bagi mereka untuk melangkah maju. 

Baca Juga: Pilkada Lampung Timur: Zaiful Bokhari Berdialog dengan Konsultan Politik Ternama Denny JA di Jakarta

Pameran lukisan ini perlu dikritik karena tidak menyertakan tokoh bangsa Bung Karno dan Bung Hatta, yang punya  kontribusi besar di panggung dunia. Menjelang 17 Agustus nanti lukisan mereka perlu ditampilkan.

Ketidak hadiran lukisan Lionel Messi, pemain sepakbola terbaik sepanjang masa juga merupakan kekurangan lainnya.  Jika perlu boleh juga ditambahkan dengan Cristiano Ronaldo yang kualitasnya dianggap mendekati Messi
Absennya lukisan tokoh filantropi seperti Mark Zuckerberg, Bill Gates, dan Warren Buffett juga perlu dicatat sebagai kekurangan. 

Ketidak hadiran lukisan Kahlil Gibran dan Rumi, dua penyair besar yang sering dikutip oleh Denny JA dalam karyanya, juga mengherankan; mereka telah memberikan kontribusi luar biasa dalam dunia sastra dan seharusnya diberikan tempat yang layak dalam pameran.

Baca Juga: Google Umumkan, Opsi Bahasa Indonesia Telah Tersedia di Aplikasi Kecerdasan Artifisial Gemini

Lukisan adalah bahasa yang universal. Tidak semua orang memiliki keterampilan untuk menguraikan pesannya. Hanya mereka yang memiliki jiwa seni yang dalam yang mampu menggali esensi dan pesan yang tersembunyi di balik lukisan. 

Seperti musik yang memanggil hati dengan melodi yang indah, lukisan memanggil jiwa dengan keindahan visualnya. Hanya melalui mata jiwa, seseorang dapat memahami dan merasakan kekuatan yang terkandung dalam setiap karya seni yang dipamerkan. 

Sebuah lukisan  menjadi cermin bagi siapa pun yang memandangnya, merefleksikan warna-warna emosi yang terdalam dalam diri mereka sendiri. Meskipun pelukis telah mengisi setiap celah dengan maksud yang terpahami olehnya, namun tiap sudut pandang membawa perjalanan yang unik, mengungkapkan rahasia dan kebenaran yang hanya bisa disentuh oleh hati yang terbuka. Hal itulah yang  kita dapatkan pada lukisan Denny JA

Baca Juga: Acer Merilis Laptop TravelMate dan Chromebook Plus Enterprise yang Gunakan Kecerdasan Artifisial

Apakah Dunia Lukisan akan Bergairah?

Pertanyaan yang muncul adalah apakah dunia seni lukis akan menjadi  lebih bergairah karena kini orang bisa melukis dengan bantuan  AI, seperti yang terjadi pada Denny JA?

Menurut saya para pelukis yang sudah mapan, yang selama ini telah melukis dengan cara konvensional, mungkin merasa skeptis atau enggan untuk menggunakan AI sebagai alat bantu dalam proses kreatif mereka. Mereka telah mengembangkan keterampilan  mereka selama bertahun-tahun, membangun hubungan yang intim antara diri mereka dan kanvas, mengungkapkan emosi, pengalaman, dan visi mereka melalui sentuhan kuas yang dipenuhi dengan perasaan.

Baca Juga: Denny JA, Fernando Botero, dan Lukisan Artificial Intelligence di Mahakam 24 Residence Jakarta

Bagi banyak pelukis konvensional, proses melukis adalah sebuah perjalanan spiritual yang mengalir dari hati dan jiwa. Mereka mungkin merasa bahwa penggunaan AI dalam proses kreatif dapat mengurangi keintiman dan keaslian dalam karya seni mereka. Bagi mereka, keindahan seni tidak hanya terletak pada hasil akhir, tetapi juga pada perjalanan artistik yang mereka alami selama proses menciptakan.

Yang sangat mungkin adalah, Kehadiran AI sebagai alat bantu mungkin  membuka pintu bagi lahirnya generasi baru seniman lukis. Denny JA adalah salah satu contoh, yang menunjukkan bagaimana AI dapat menjadi mitra yang kuat bagi para seniman dalam mengeksplorasi potensi mereka.

Dengan AI, batasan-batasan teknis dalam melukis bisa teratasi, memungkinkan mereka yang belum memiliki pengalaman atau keterampilan yang luas dalam seni lukis konvensional untuk mengekspresikan diri mereka dengan lebih leluasa. Teknologi ini memberi kesempatan kepada individu-individu kreatif yang sebelumnya mungkin merasa terhalang oleh kendala teknis untuk mengeksplorasi dunia seni lukis dengan lebih percaya diri.

Baca Juga: Lukisan Artificial Intelligence Karya Denny JA tentang Pilpres Sampai Spiritualitas Dipamerkan di Mahakam 24 Residence

Penutup

Dunia seni lukis tetaplah menjadi arena yang tergolong elite, dengan penonton yang lebih sedikit dibandingkan dengan bidang hiburan lainnya. Seni lukis membutuhkan waktu, dedikasi, dan ketekunan yang tinggi, yang tidak semua orang memiliki.

Meskipun demikian, pameran ini tetap memiliki nilai yang tak terbantahkan. Meskipun hanya dinikmati oleh mereka yang memiliki jiwa seni, kehadiran karya-karya yang dipamerkan bisa menjadi sumber inspirasi yang kuat bagi mereka yang merindukan keindahan dalam kehidupan mereka.

Mungkin sebagian  orang, melihat karya-karya yang dipamerkan dapat menumbuhkan minat atau setidaknya membangkitkan rasa ingin tahu tentang dunia seni lukis. Namun, pada akhirnya, menjadi seorang pelukis bukanlah suatu hal yang dapat dipaksakan; ia adalah panggilan yang harus datang dari dalam jiwa seseorang. ***

Pondok Cabe Udik, 9 Juni 2024

*Elza Peldi Taher ialah penulis

Berita Terkait