Satrio Arismunandar: Bencana Alam Hadirkan Pertanyaan Eksistensial tentang Makna Hidup dan Absurditas Keberadaan Manusia
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Kamis, 04 April 2024 21:33 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Saat menghadapi bencana alam, individu mungkin menghadapi pertanyaan eksistensial tentang makna hidup, penderitaan yang tak terhindarkan, dan absurditas keberadaan manusia. Hal itu dikatakan Sekjen SATUPENA, Satrio Arismunandar.
Satrio Arismunandar menanggapi diskusi tentang bencana dari berbagai perspektif di Jakarta, 4 April 2024. Diskusi itu diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, yang diketuai penulis senior Denny JA.
Diskusi yang dikomentari Satrio Arismunandar itu menghadirkan nara sumber Mohammad Agung Ridlo, Sekretaris Umum Satupena Jawa Tengah. Diskusi itu dipandu oleh Elza Peldi Taher dan Swary Utami Dewi.
Satrio menuturkan, menghadapi bencana, beberapa orang mungkin mengambil sikap yang fatalistis. Mereka menerima bencana sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari dan berada di luar kendali manusia.
“Sementara, yang lain mungkin menemukan makna eksistensial dalam perjuangan untuk menemukan tujuan dan ketahanan di tengah kesulitan,” lanjutnya.
Menurut Satrio, ada filosofi di balik bencana alam. Filsafat ini menggali pertanyaan-pertanyaan etis, eksistensial, dan metafisik yang ditimbulkan oleh terjadinya bencana alam, seperti gempa bumi, angin topan, tsunami, banjir bandang, dan kebakaran hutan.
“Filsafat ini mengeksplorasi hubungan manusia dengan alam, implikasi moral dari peristiwa-peristiwa tersebut, dan konsep filosofis yang digunakan dalam upaya memahami dan mengatasinya,” tutur Satrio.
Satrio menjelaskan, ada beberapa aspek kunci dari filosofi bencana alam. Bencana alam menghadapkan manusia pada kekuatan alam dan alam yang tidak dapat diprediksi.
“Sehingga ini menimbulkan pertanyaan tentang posisi kita di alam dan batasan kendali manusia. Hal ini menjadi pengingat akan kerentanan dan kematian kita, serta menantang rasa aman dan stabilitas kita,” sambung Satrio.
“Bencana alam juga menyoroti keterkaitan aktivitas manusia dan lingkungan, sehingga mendorong refleksi terhadap kewajiban etis umat manusia terhadap alam,” ujar Satrio.
“Bencana itu menggarisbawahi pentingnya pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan berkelanjutan, dan upaya mitigasi perubahan iklim, untuk mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan kejadian-kejadian tersebut,” ucapnya.
“Meskipun menimbulkan kehancuran, bencana alam sering kali membangkitkan tindakan solidaritas, kasih sayang, dan altruisme di antara individu dan komunitas,” ungkap Satrio.
“Para filsuf mengeksplorasi signifikansi moral dari respons ini, dengan mempertimbangkan peran empati, altruisme, dan kewajiban moral pada saat krisis,” pungkasnya. ***