Fahd Pahdepie Menceritakan Kedermawanan Denny JA: Ikut Menyokong Pembangunan Masjid
- Penulis : Krista Riyanto
- Rabu, 20 Maret 2024 08:08 WIB
ORBITINDONESIA.COM – Seorang penulis dan pencerita bernama Fahd Paddepie memberi kesaksian tentang kedermawanan penulis senior dan konsultan politik kondang Denny JA dalam lintas bidang.
Kali ini, kedermawanan Denny JA yang ikut menyokong pembangunan masjid di kawasan Ciwidey, Kabupaten bandung, Jawa Barat diceritakan oleh Fahd Pahdepie secara tertulis lalu menyebar di jejaring media sosial whatsapp group.
Berikut ini kesaksian Fahd Pahdepie tentang kedermawanan Denny JA:
Baca Juga: Kesaksian Alex Runggeary tentang Keramahan Yusak Yaluwo yang Merapat ke Konsultan Politik Denny JA
Malam itu pukul 22.30 waktu Sydney, Australia. Hari pertama puasa, 1 Ramadhan 1445 H. Saya membuka layar handphone dan membaca sebuah pesan WhatsApp, tertulis pengirimnya Denny JA. “Kabar politik dari tanah air…” Gumam saya.
Namun, ternyata saya keliru. Pesan Pak Denny kali ini menuliskan judul yang berbeda dari biasanya, ‘Momen Merenung’, bunyi pesan itu. Saya mengernyitkan dahi. Lalu mulai membaca perlahan, “Setelah politik yang membelah, datanglah momen sebulan penuh, kembali menggali hal-hal yang lebih esensial dan spiritual. Selamat bulan Ramadhan.” Tulisnya.
Apa istimewanya pesan semacam itu? Sebenarnya bukan ucapan itu yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Tetapi sebuah tautan video Youtube yang disertakan bersamanya.
Sejurus kemudian, saya membuka tautan itu, lalu mulai mendengarkan Denny JA yang bernyanyi dengan latar belakang buku-buku. Ia menyanyikan lagu favorit saya sepanjang masa, ‘Rindu Rasul’ dari Bimbo.
“Rindu kami padamu Ya Rasul, rindu tiada terperi. Berabad jarak darimu Ya Rasul, seakan dikau di sini...” Seperti Denny JA yang saya kenal, ia bernyanyi dengan suara baritonnya yang khas, berat dan merdu. Dalam hati, perlahan saya mengikuti nada yang ia nyanyikan, “Cinta ikhlasmu pada manusia bagai cahaya surga. Dapatkah kami membalas cintamu secara bersahaja?”
Sebagai pribadi, saya mengenal Denny JA cukup lama. Kurang lebih 15 tahun. Saya memanggilnya ‘Pak Denny’. Mentor yang mengajarkan saya tentang politik dan bisnis, sejak saya masih ‘yesterday afternoon boy’ alias ‘anak kemarin sore’ di Jakarta.
Sering saya katakan dalam berbagai kesempatan: Saya adalah murid Denny JA, saya berguru kepadanya. Dalam 15 tahun itu, hubungan kami cukup dekat, hingga pada saatnya kami berbisnis bersama.
Mendengar ia menyanyikan ‘Rindu Rasul’ di video itu, saya bisa membayangkan perasaan Denny JA. Dia adalah laki-laki romantis dengan hati yang lembut. Bahkan kadang ‘mellow’.
Denny JA yang saya tahu mudah sekali tersentuh dan menangis. Saya duga, dia pasti menangis ketika menyanyikan ‘Rindu Rasul’. Lagu itu selalu punya daya magisnya sendiri.
Dan benar saja. Di video itu Pak Denny menangis. Saya surprise sekaligus bahagia menyaksikan pemandangan itu. Seorang Denny JA, polster kenamaan yang kadang kontroversial itu, menangis karena ‘Rindu Rasul’! Ah, betapa dalam dan syahdu. Betapa berharganya momen ini buat saya.
Dan sambil terus mendengarkan Pak Denny bernyanyi, entah mengapa pikiran saya terbang ke sebuah tempat… di ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut, sekitar 170 km dari Jakarta, sebuah kampung kecil bernama ‘Saung Darussalam’ di Ciwidey, Kabupaten Bandung. Izinkan saya menceritakan tempat itu.
II
Tempat itu bernama Saung Darussalam. ‘Saung’ karena rumah-rumah bambu berdiri di tempat itu, disebut ‘saung’ oleh orang Sunda. Sementara ‘darussalam’ atau ‘d?r as-sal?m’ adalah kontraksi kata bahasa Arab yang bermakna ‘rumah kedamaian’.
Pertama kali saya mengunjungi tempat itu sekitar tahun 2021. Waktu itu Saung Darussalam masih di masa-masa awal berdiri. Hamparan sawah yang hijau, kebun stroberi yang tertata rapi, kolam-kolam ikan dengan gemericiknya yang memanjakan telinga...
Di tanah seluas sekitar 600 m2 itu berdiri beberapa ‘saung’ dari bambu. Dipadukan dengan udara dingin, tempat itu benar-benar indah dan menyejukkan mata.
Namun, bukan ‘set up’ fisiknya yang membuat tempat itu benar-benar indah dan menyejukkan mata, tetapi orang-orang yang tinggal di sana: Mereka yang memendam rindu kepada Rasulullah. Para pelantun shalawat yang tak kenal lelah.
Setiap malam di tempat itu dibacakan shalawat pengobat rindu, bait-bait indah dari kitab ‘Dalailul Wushul’, sudah dua tahun mereka membacanya tanpa putus.
Bukan hanya itu, di sana juga tersimpan sebuah ‘pusaka’ yang tak ternilai harganya. Saya tak bisa menceritakannya di sini. Hanya para perindu dan pecinta yang tahu betapa istimewanya hal itu.
Singkat cerita, tahun 2022 mereka ingin membangun sebuah masjid di sana, Masjid Shalawat. Masjid tempat berkumpul para pecinta shalawat kepada Rasulullah.
Mendengar kisahnya yang luar biasa, saya memberanikan diri untuk ikut membantu pembangunan masjid itu. Masjid itu sangat dibutuhkan bukan hanya oleh warga Saung Darussalam, tetapi juga oleh warga 4 desa di sekitarnya.
Sejak pembangunan masjid ini dikerjakan dua tahun lalu, ada ribuan orang yang terlibat menyokongnya. Di platform crowd-funding kitabisacom, tercatat sudah lebih dari 7.000 orang yang ikut berdonasi untuk pembangunan masjid ini. Tak terhitung berapa jamaah pengajian dan lainnya.
Saung Darussalam punya cara yang unik untuk mengabadikan para donatur yang terlibat: Setiap batu bata yang terpasang di masjid itu dibacakan shalawat dan didoakan atas nama penyumbang.
Kini pembangunan masjid itu sudah memasuki lantai 3. Pengurus Saung Darussalam sedang mengecor dudukan kubah masjid. “Kubah hijau seperti di Masjid Nabawi.” Kata panitia pembangunan masjid itu. “Tadinya kami berharap masjid ini bisa rampung bulan Ramadhan tahun ini. Tapi rupanya meleset hingga target baru harus dibuat, bulan Muharram.” Sambungnya.
Ya, meski banyak yang membantu, pembangunan masjid ini tidaklah mudah. Menjelang 1 Ramadhan 1445 H, panitia pembangunan masjid mengirim saya pesan WA: “Kang Fahd, kami sedang ada kebutuhan mendesak. Harus bayar utang ke toko bangunan dan membayar upah pekerja minggu ini. Kami mohon petunjuk.”
Pesan itu dilengkapi jumlah rupiah yang dibutuhkan. Tidak sedikit jumlahnya. Karena sedang berada di luar negeri, saya belum tahu bagaimana cara memenuhinya. Hanya bisa membalas pendek, “Insya Allah nanti ada jalannya.”
III
Entah kekuatan apa yang menggerakkan saya tiba-tiba menceritakan semua itu kepada Denny JA. Beberapa menit saja setelah saya mendengarkan videonya menyanyikan ‘Rindu Rasul’, saya merasakan spirit Denny JA juga ada di Saung Darussalam.
“Lama sebenarnya saya berencana mengirimkan pesan ini ke Pak Denny. Maju-mundur. Tapi setelah menonton dan mendengarkan suara dari video ‘Rindu Rasul’ yang dinyanyikan Pak Denny, saya memberanikan diri.” Tulis saya. Lalu saya pun mulai menceritakan Saung Darussalam dan project masjidnya.
Tak disangka, Denny JA membalas pesan pesan panjang saya dengan sambutan antusias. “Dahsyat Fahd soal mesjid ini. Saya berniat menyumbang. Bagaimana caranya? Teruslah menjadi bagian dari energi batin kreatif.” Balasnya. Ia pun menyebut sejumlah angka. Cukup besar di mata saya.
Yang mengherankan adalah nilai rupiah yang disebutkan Denny JA angkanya persis dengan jumlah kebutuhan mendesak biaya pembangunan masjid yang dikirimkan kepada saya sehari sebelumnya. Persis sama. Saya pun membalas pesan itu sambil menahan haru, “Pak Denny, ini saya ‘share’ cerita keajaiban ya.
Kemarin pengurus masjid di sana ‘request’ dana bantuan untuk membayar bahan bangunan dan gaji tukang yang kerja minggu ini. Pagi ini Allah menggerakkan Pak Denny membantu dengan jumlah yang persis. Pasti ini bukan sebuah kebetulan.” Ujar saya.
Denny JA, seperti yang saya kenal, membalas dengan pesan yang sangat spiritual. “Jelas ini bukan kebetulan.” Katanya. “Ada spirit gaib yang membolak-balikkan hati manusia, dari awal hingga akhir zaman.” Sambungnya.
Lama saya merenungkan pesan Denny JA itu. “Inikah yang disebut keajaiban?” Pikir saya. Sering saya mendengar cerita-cerita tentang keajaiban. Tapi kali ini benar-benar terjadi di depan mata saya. Denny JA mengantarkan keajaiban itu lewat lagu ‘Rindu Rasul’, lewat kerja aktifnya dalam berderma. Ada ‘spirit’ yang menggerakkannya dengan cara yang ajaib dan menakjubkan.
IV
Saya sudah mengenal Denny JA cukup lama. Cukup tahu bahwa ada banyak kerja-kerja sosial yang ia lakukan secara melintasi. Ada banyak ‘testimoni’ keajaiban sedekah yang sudah saya dengar tercipta lewat tangannya.
Ada teman yang hampir bunuh diri karena terlilit utang bank, lalu utang itu dilunasi Pak Denny tanpa basa-basi. Ada teman yang rumahnya dibeli tunai Pak Denny agar dia tak berat lagi mencicil dari bank, cukup dicicil kepada Denny JA tanpa bunga.
Cerita tentang anak yang disekolahkan, individu-individu yang diumrohkan, usaha baru yang diborong sebagai penglaris, buku-buku yang dibeli agar penulisnya punya royalti, dan masih banyak kisah-kisah lainnya.
Semua yang pernah saya dengar bahwa Denny JA memberi dan membawa keajaiban dalam hidup banyak orang. Kali ini saya menyaksikan salah satu keajaiban semacam itu, langsung dari tangan pertama.
Mungkin memang ada sesuatu yang menggerakkan Denny JA. Kita bisa menyebutnya apapun. Tapi saya tahu itu adalah kekuatan yang sama yang membuat Pak Denny menjerit dari dalam batinnya ketika menyanyikan ‘Rindu Rasul’.
Kekuatan itulah yang membuat Denny JA terus memiliki keberkahan dan keberuntungannya sendiri.
Membuat ia menjadi seseorang yang disebut Morris E. Goodman sebagai ‘The Miracle Man’ karena keinginannya memberi kebaikan kepada sebanyak mungkin orang.
Mudah-mudahan kita bisa mencontohnya. Menjadi orang yang disebut Nabi Muhammad sebagai sebaik-baiknya manusia: Yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya. The best man, the miracle man. ***
Sydney, Maret 2024
*Fahd Pahdepie ialah penulis dan pencerita