DECEMBER 9, 2022
Humaniora

Hoaks Politik Meningkat Tajam Jelang Pemilu 2024, Ganggu Demokrasi Indonesia

image
Ilustrasi hoaks (Foto: Istimewa)

“Terlebih konten hoaks yang dibuat menggunakan AI, tidak mudah untuk bisa mendapatkan kesimpulan apakah itu hoaks atau bukan,” ujarnya.

Semua calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi sasaran utama hoaks politik. Hoaks tentang mereka ada yang bernada positif (melebih-lebihkan kandidat), sebagian bernada negatif (yang menyerang atau memfitnah kandidat).

Anies Baswedan menjadi kandidat yang paling banyak disebut dalam narasi hoaks, sebanyak 206 bernada positif, dan 116 bernada negatif.

Baca Juga: Video Hoaks dan Menyesatkan Soal Anies Mau Dihabisi dan Umat Islam Kepung Istana

Selanjutnya Ganjar Pranowo (63 positif, 73 negatif), Gibran Rakabuming Raka (12 positif, 74 negatif), Prabowo Subianto (28 positif, 66 negatif), Moh. Mahfud MD (44 positif, 5 negatif), dan Muhaimin Iskandar (17 positif, 5 negatif).

Septiaji mengatakan konten hoaks politik itu masih didominasi saling serang antarpendukung kandidat. Sedangkan tingkat polarisasi dengan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang Pemilu 2024 ini tidak setinggi dibandingkan Pemilu 2019  dengan capres head-to-head Joko Widodo dan Prabowo. 

“Namun, jika pilpres masuk ke putaran kedua, perlu diwaspadai peningkatan hoaks dan ujaran kebencian yang menggunakan isu SARA,” ujar Septiaji.

Baca Juga: Video Hoaks dan Menyesatkan Soal Anies Mau Dihabisi dan Umat Islam Kepung Istana

Septiaji menyebut topik hoaks yang paling banyak ditemukan adalah dukungan/pengakuan kepada kandidat (33,1 persen), diikuti isu korupsi (12,8 persen) dan penolakan terhadap kandidat (10,7 persen), dan karakter atau gaya hidup negatif kandidat (7,3 persen). Sedangkan isu kecurangan pemilu sebesar 5 persen dan isu SARA 3,9 persen.

“Isu kecurangan pemilu harus disikapi dengan sangat serius oleh penyelenggara pemilu. Karena isu ini yang diprediksi meningkat tajam setelah hari-H (14 Februari 2024), dan berpotensi membuat orang menolak hasil pemilu dan memantik keonaran," ujarnya.

"Kami sudah menemukan beberapa konten hoaks yang mendelegitimasi penyelenggaraan pemilu seperti hoaks mobilisasi ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), hoaks sistem teknologi informasi (TI) KPU, dan isu keberpihakan penyelenggara pemilu,” sambung Septiaji.

Baca Juga: Hoaks: Puan Maharani dan PDIP Membenci Islam

Upaya menangani hoaks tidak cukup dengan melakukan fact checking atau pemeriksaan fakta. Dia memandang sangat penting upaya pencegahan dalam bentuk vaksinasi informasi atau prebunking.

Halaman:
1
2
3
Sumber: Siaran Pers

Berita Terkait