Biden Sahkan Paket Pertahanan Senilai 886 Miliar AS Bantu Militer Taiwan
- Penulis : Satrio Arismunandar
- Minggu, 24 Desember 2023 17:10 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Jumat menandatangani UU paket kebijakan pertahanan senilai 886 miliar dolar AS setara Rp13,7 kuadriliun mencakup langkah untuk menangkal aktivitas militer China di wilayah Indo-Pasifik dan membantu militer Taiwan.
Undang-Undang Otorisasi Pertahanan Nasional untuk tahun fiskal hingga September 2024 mencakup $14,7 miliar (Rp 227,5 triliun) untuk Inisiatif Pencegahan Pasifik, yang merupakan bagian dari upaya AS untuk meningkatkan kemampuan militer melalui latihan dengan sekutu dan negara mitra di kawasan.
Meskipun menyebutkan perlunya program pelatihan komprehensif dan peningkatan kapasitas bagi militer Taiwan, undang-undang tersebut mensyaratkan kerja sama AS dalam upaya Taiwan untuk memperkuat aktivitas keamanan siber militer.
Kebijakan itu juga memberikan lampu hijau bagi rencana penjualan kapal selam bertenaga nuklir ke Australia di bawah kemitraan trilateral yang disebut AUKUS yang juga melibatkan Inggris.
Dalam sebuah pernyataan, Biden mengatakan bahwa tindakan tersebut "memberikan otoritas penting yang kita perlukan untuk membangun militer yang dibutuhkan dalam mencegah konflik di masa depan, sambil mendukung anggota militer dan pasangan serta keluarga mereka yang menjalankan misi tersebut setiap hari.”
RUU tersebut masing-masing disetujui oleh Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat, pekan lalu.
Sementara itu, untuk terus membantu Ukraina memukul mundur Rusia yang berperang sejak Februari 2022, UU tersebut memungkinkan AS memperpanjang programnya saat ini untuk pembelian senjata dan peralatan dari industri pertahanan hingga akhir 2026.
Selain itu, UU tersebut menyetujui kenaikan gaji sebesar 5,2 persen untuk anggota militer dan pekerja sipil.
Sebelumnya pada awal tahun 2023, AS dan China melaporkan insiden jarak dekat antara pesawat militer dan kapal mereka di Laut Cina Selatan.
China dan Taiwan telah menjalani pemerintahan secara terpisah sejak terjadi perpecahan pada 1949 setelah perang saudara, namun Beijing menganggap pulau itu sebagai provinsi pemberontak yang harus disatukan dengan daratan, jika perlu dengan kekerasan.***