Bukan Sekadar Cinta: Grup Musik ELEMENT dan Karin.Kemayu Hadirkan Book of Soundtrack

ORBITINDONESIA.COM – Di tengah riuhnya industri hiburan yang kerap mengejar sensasi, sebuah kolaborasi lintas media hadir dengan napas berbeda. ELEMENT adalah grup musik yang telah mewarnai perjalanan hati pendengar Indonesia selama lebih dari dua dekade dan dikenal dengan lagu-lagi hit seperti Rahasia Hati, Bukan Sekadar Cinta, Kupersembahkan Nirwana, dan Cinta Yang Lain.

ELEMENT berkolaborasi dengan penulis fiksi  soulburn-realism, Karin.Kemayu, dalam sebuah kolaborasi yang tak hanya bisa dibaca, tapi juga didengar dan dirasakan, yaitu sebuah trilogi Book of Soundtrack:  Bukan Sekadar Cinta.

Kolaborasi ini bukan sekadar peluncuran novel atau album, tapi merupakan sebuah ruang baru, tempat cerita dan lagu tumbuh bersama. Lagu-lagu yang lahir  bukanlah diciptakan setelah naskah selesai, tapi bersamaan dengan denyut kisahnya.

Pada bab pertama trilogi Bukan Sekadar Cinta, ELEMENT yang beranggotakan Adhitya Pratama (gitar), Arya Prasetyo (gitar), Didi Riyadi (drum), Fajar Putra (kibor), Ferdy Tahier (vokal), Ibank (basis) dan Lucky Widja (vokal) mempersembahkan single terbaru mereka, “Cinta Tak Berbatas”, menjadi sebuah interpretasi musikal dari cinta yang tak selalu berjalan sesuai logika, tapi tetap layak diperjuangkan.

Lagu ini menjadi jembatan antara bab-bab emosional dalam novel dan pengalaman batin para pendengarnya. Sebuah peluk musikal untuk mereka yang pernah merasa asing dalam cinta, tapi tetap memilih untuk percaya.

“Kami nggak sekadar bikin lagu. Waktu mendengar kisahnya, rasanya kayak ngaca ke hidup sendiri. Musik adalah cara kami memeluk itu semua,” terang Didi sang penggebuk drum mengenai lagu mereka yang menjadi soundtrack buku ini.

Di sisi lain, Karin.Kemayu yang merupakan penulis pendatang baru namun penuh dengan pemikiran yang out of the box menyebut proyek kolaborasi seni ini sebagai bentuk literasi emosional yang bisa didengarkan.

Ia menulis bukan untuk menggurui, melainkan untuk mengajak pembaca sekaligus pendengar untuk berpikir ulang akan berbagai hal dalam kehidupan: tentang stigma, tentang tubuh, tentang keluarga, dan tentang cinta dalam banyak bentuk. “Setiap lagu menjadi bab yang bernyanyi, justru bukan sebagai pelengkap, tapi denyut yang menyatu dengan kisahnya,” ungkap Karin.Kemayu lebih jauh.

Buku pertama dari sebuah trilogi ini mengangkat tema yang jarang disentuh secara mendalam: cinta yang tumbuh antara seorang pria dan calon anak sambungnya, seorang remaja laki-laki dengan autisme dan mental retardasi. Bukan sekadar kisah cinta dua manusia dewasa, tapi juga perjalanan emosional calon ayah yang belajar mencintai dan melindungi, tanpa status formal, tanpa ikatan darah.

Tema “true love is not only by blood” menjadi jantung kisah ini. Dalam keseluruhan trilogi, Bukan Sekadar Cinta mengajak pembaca untuk tidak hanya jatuh cinta, tapi juga berpikir.

Di dalamnya, terselip isu-isu yang sering disisihkan: pernikahan siri, surrogacy, status “anak haram”, cinta beda usia, hingga problem hormonal perempuan menjelang menopause. Semua dibahas dengan narasi yang lembut, berani, menghormati keberagaman, serta bagaimana spiritualitas Bali dan konsep reinkarnasi.

Dalam rangkaian ini, terdapat pula video musik storytelling bertajuk “KURO”, sebuah ilustrasi visual yang mengangkat simbol kura-kura sebagai metafora cinta tak berbatas. Binatang reptil ini dipilih bukan sekadar lambang ketekunan, tapi juga representasi anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dengan warna biru sebagai identitasnya, KURO menjadi simbol dari langkah pelan, hati besar, dan cinta tanpa syarat.

Melengkapi kolaborasi ini adalah suara tenang dan sarat emosi dari Vitalia, pelantun yang membawakan lagu berjudul “Teman Hidup”. Lagu ini menjadi representasi sempurna dari tokoh utama novel, Dayu, seorang ibu tunggal yang belajar kembali mencinta di usia yang tidak lagi muda.

Kolaborasi lintas media yang unik ini bukan hanya tentang musik dan cerita, namun tentang keberanian untuk mencintai di luar batas yang menjadi norma di masyarakat. Tentang menjadi rumah bagi satu sama lain, meski dunia berkata tak seharusnya.***