Amidhan Shaberah: Zohran yang Muslim Menang di Kota Yahudi New York

Oleh K.H. Dr. Amidhan Shaberah, Ketua MUI 1995-2015/Komnas HAM 2002-2007

ORBITINDONESIA.COM - Di jantung kota yang disebut-sebut sebagai “ibu kota dunia”, seorang pria muda keturunan Asia Selatan bernama Zohran Mamdani mencatatkan sejarah. Ia, seorang muslim dan berkulit cokelat, berhasil merebut hati warga New York City—kota yang sering digambarkan sebagai rumah bagi komunitas Yahudi terbesar di luar Israel sekaligus pusat kekuatan finansial dunia.

Kemenangan Zohran, yang lahir di Kampala, Uganda, dan tumbuh besar di Queens, pinggiran kota New York City, seakan menjadi potret kontras antara stereotip lama dan realitas baru Amerika. 

Dua dekade setelah dunia menyaksikan robohnya Menara Kembar World Trade Center—simbol kejayaan ekonomi New York—oleh teroris yang mengatasnamakan Islam, kini seorang muslim berdiri tegak di panggung demokrasi kota itu.

“Ini adalah kemenangan bagi semua orang yang percaya bahwa keadilan sosial tidak mengenal agama atau warna kulit,” ujar Zohran dalam pidato kemenangannya di sebuah taman kecil di Astoria, Queens. Suaranya tenang, namun penuh keyakinan.

New York City adalah paradoks yang hidup. Di satu sisi, ia merupakan rumah bagi lebih dari 1,6 juta warga Yahudi, menjadikannya komunitas Yahudi terbesar di dunia di luar Israel. Di sisi lain, kota ini juga menjadi poros kapitalisme global, tempat bersemayamnya Wall Street, bank investasi raksasa, dan miliarder dunia.

Bagi sebagian orang, label “kota Yahudi dan finansial” telah melekat erat dengan identitas New York. Namun, kehidupan di metropolis ini jauh lebih kompleks dari sekadar stereotip. 

Kota ini adalah mosaik dari 180 bahasa dan ratusan kebudayaan, tempat di mana gereja, masjid, sinagoga, dan kuil berdiri bersebelahan dalam jarak beberapa blok.

Di antara hiruk-pikuk itu, Zohran muncul sebagai simbol kebangkitan politik generasi baru—generasi yang tak lagi melihat agama sebagai tembok pemisah, melainkan bagian dari identitas plural yang membentuk New York.

Bayang-bayang 11 September 2001 tidak mudah bagi seorang muslim untuk tampil di panggung politik Amerika setelah tragedi runtuhnya menara kemvar itu. 

Peristiwa runtuhnya menara kembar oleh kelompok ekstremis Islam meninggalkan luka mendalam. Sentimen anti-Islam sempat merebak, menciptakan jarak sosial dan politik bagi komunitas muslim di berbagai kota besar.

Namun waktu, pendidikan, dan demokrasi perlahan menyembuhkan luka itu. Generasi muda Amerika yang lahir setelah 9/11 tumbuh dalam dunia yang lebih terbuka, lebih beragam, dan lebih peka terhadap isu keadilan sosial.

Zohran, yang kini duduk di Majelis Negara Bagian New York, menjadi bagian dari gelombang progresif yang menantang arus lama politik Amerika. Ia berbicara tentang perumahan rakyat, keadilan ekonomi, hak imigran, dan lingkungan hidup, bukan soal agama. Dan justru itulah yang membuatnya diterima.

Banyak pengamat politik menilai kemenangan Zohran bukan semata karena identitasnya yang minoritas, melainkan karena gagasannya yang sejalan dengan denyut nadi masyarakat urban New York. Kota ini kini dihuni oleh kelas pekerja multietnis, kaum muda idealis, dan imigran dari berbagai belahan dunia—mereka mencari pemimpin yang memahami realitas hidup mereka.

“Zohran berbicara tentang masalah sewa rumah yang tak terjangkau, gaji buruh yang tidak cukup untuk hidup, dan ketimpangan ekonomi di kota terkaya di dunia. Itu yang membuatnya relevan,” ujar Profesor Marcia Klein, pengamat politik dari Columbia University.

New York adalah kota yang terus berubah. Sementara Manhattan gemerlap dengan menara kaca dan investasi global, kawasan kumuh seperti Queens atau Bronx masih berjuang melawan kemiskinan dan ketimpangan.

Di sinilah Zohran tumbuh, di tengah warga imigran yang tahu betul arti perjuangan.

Kemenangan Zohran juga menjadi refleksi tentang ketahanan moral demokrasi Amerika. Negara ini telah melewati berbagai ujian—perang, teror, konflik rasial—namun tetap mempertahankan mekanisme pemilihan yang memungkinkan siapa pun, tanpa memandang agama atau warna kulit, untuk dipercaya rakyat.

Fakta seorang muslim bisa terpilih di kota dengan sejarah 9/11 yang begitu kelam, menunjukkan kedewasaan politik masyarakatnya. Zohran tidak dilihat sebagai “muslim”, tapi sebagai anak muda yang mampu mewakili suara rakyat kecil.

Bagi warga New York, pilihan itu bukan bentuk amnesia terhadap masa lalu, melainkan bukti bahwa demokrasi sejati mampu mengatasi trauma dengan keberanian dan logika.

“Di sinilah keindahan Amerika,” kata seorang pemilih di Queens yang diwawancarai media lokal. 

“Kami tidak memilih berdasarkan nama belakang, warna kulit, atau tempat ibadah. Kami memilih berdasarkan ide.”

Zohran sendiri tidak pernah menyembunyikan identitasnya. Ia dengan bangga menyebut dirinya muslim, imigran, dan progresif. Namun ia juga menolak dikotak-kotakkan. Dalam wawancara dengan The New York Times, ia memengatakan: "Saya muslim, tapi perjuangan saya bukan untuk satu agama. Saya ingin semua orang di New York bisa hidup dengan martabat.”

Pandangan itu terasa sejalan dengan semangat New York—kota yang dibangun oleh para pendatang, dilahirkan dari keberagaman, dan disatukan oleh mimpi yang sama, kebebasan.

Kini, di tengah gedung-gedung pencakar langit yang pernah menjadi simbol luka dunia, muncul sinar baru dari generasi politik yang percaya pada kesetaraan dan kemanusiaan. Zohran adalah bagian dari itu.

Kisah Zohran mengingatkan kita bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan cermin dari nilai-nilai yang dijunjung masyarakat. Bahwa di kota yang dulu menjadi sasaran kebencian, seorang muslim kini bisa menang dengan gagasan dan integritas—adalah tanda bahwa demokrasi, betapapun rapuhnya, masih hidup.

New York, dengan segala kontradiksi dan kompleksitasnya, sekali lagi membuktikan bahwa harapan bisa tumbuh di atas puing-puing trauma. 

Dan dalam kemenangan seorang Zohran sebagai Gubernur New York City, dunia melihat bukti bahwa keberagaman bukan ancaman, melainkan kekuatan.***