Menggali Ilusi 'Speak-Up Culture' di Lingkungan Kerja Modern

ORBITINDONESIA.COM – Konsep 'speak-up culture' yang digemari perusahaan kerap menjadi jebakan manis yang tak berbuah manis. Inisiatif ini, meski tampak progresif, sering kali gagal mencapai tujuan yang diharapkan.

Di lanskap bisnis saat ini, banyak perusahaan berusaha membangun budaya terbuka dengan investasi besar. Mereka menyediakan saluran pengaduan anonim dan workshop, namun hasilnya sering jauh dari harapan. Karyawan tetap enggan berbicara, dan kepercayaan dengan cepat memudar.

Budaya berbicara sering diabaikan karena tiga asumsi keliru. Pertama, banyak yang mengira semua orang merasa aman untuk berbicara, padahal rasa aman bersifat subjektif. Kedua, diasumsikan karyawan memiliki keterampilan berbicara yang cukup, padahal ini memerlukan pelatihan khusus. Ketiga, banyak yang berpikir perbaikan dangkal cukup untuk membangun kepercayaan, padahal sering kali hanya mengobati gejala, bukan akar masalahnya.

Seharusnya, fokus pemimpin adalah menciptakan kondisi di mana karyawan merasa ingin berbicara, bukan sekadar memerintah mereka untuk melakukannya. Budaya kontribusi harus dimulai dari pemahaman akan personal dan tim, hingga mencapai tingkat organisasi. Inovasi dan kerjasama akan mengalir ketika rasa aman dan saling percaya terbangun.

Budaya bicara yang sejati bukanlah sekadar retorika. Ini tentang membangun lingkungan yang mendukung kontribusi alami tanpa paksaan. Pemimpin yang memahami lima tingkatan budaya ini akan menyaksikan perubahan positif yang nyata dalam organisasi mereka.