Belajar Mengorganisir Gerakan Lewat Buku Rules for Radicals (1971) Karya Saul Alinsky

ORBITINDONESIA.COM- Terkadang kita punya agenda sendiri untuk mengorganisir massa dan kita bingung bagaimana cara kongkrit untuk menggerakkanya. Saul D. Alinsky menawarkan solusinya lewat buku Rules for Radicals: A Pragmatic Primer for Realistic Radicals (1971) yang ditulis olehnya.

Buku ini yang kemudian menjadi pegangan Barrack Obama untuk karier politiknya dan bagaimana ia menggerakkan massa untuk mendukungnya. Buku ini juga jadi pegangan bagi civil society di Amerika Serikat ketika mereka sedang memperjuangkan haknya terutama dalam isu-isu anti-diskriminasi termasuk diskriminasi terhadap ras, warna kulit, agama, gender, dan orientasi seksual.

Buku Rules for Radicals (1971) adalah sebuah warisan politik yang lahir dari jalanan kumuh Chicago dan lorong-lorong rapat warga miskin, bukan dari ruang seminar universitas.

Alinsky, yang dijuluki sebagai “bapak community organizing modern”, menulisnya di penghujung hidup sebagai panduan praktis bagi generasi baru aktivis yang ingin mengubah dunia dari bawah, bukan dari meja kekuasaan. Berbeda dari manifestonya para ideolog yang sarat jargon, buku ini adalah manual lapangan—tajam, kadang sinis, tetapi selalu berangkat dari pengalaman langsung menghadapi sistem yang tidak ramah bagi rakyat kecil.

 

Politik dari Gang Sempit ke Panggung Nasional

Alinsky memulai dengan satu keyakinan sederhana namun keras: kekuasaan tidak pernah diberikan, ia harus diambil. Sepanjang hidupnya, ia menolak gagasan bahwa perubahan lahir hanya dari persuasi moral. Bagi Alinsky, tanpa organisasi yang kuat, tanpa strategi yang jelas, rakyat akan terus menjadi penonton dalam drama politik yang dimainkan elite.

Buku ini lahir di tengah gejolak Amerika pada dekade 1960-an hingga awal 1970-an, ketika gerakan hak sipil, protes perang Vietnam, dan kebangkitan feminisme memenuhi jalan-jalan. Namun, Alinsky bukanlah akademisi yang mengamati dari jauh.

Alinsky mengorganisir warga miskin, mengajarkan mereka untuk melawan penggusuran, menuntut layanan publik, dan memperjuangkan upah layak, bahkan ketika mereka nyaris tak memiliki sumber daya.

Jika kita memindahkan latar ini ke Indonesia hari ini, gambaran yang ia buat terasa akrab. Komunitas nelayan yang terancam proyek reklamasi, petani yang lahannya diambil alih untuk industri besar, atau warga kampung kota yang menghadapi penggusuran demi pembangunan, semuanya berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar.

Alinsky, melalui pengalamannya, menunjukkan bahwa yang tampak tak mungkin dilawan tetap bisa diguncang—asal kekuatan rakyat dipersiapkan dengan rapi.

 

Seni Mengorganisir dan Aturan-aturan Tanpa Ilusi

Meski paling terkenal karena “aturan” yang ia rumuskan, Rules for Radicals bukan sekadar daftar strategi. Buku ini adalah pengakuan jujur tentang sifat konflik politik: kotor, penuh tipu daya, namun perlu dihadapi dengan cerdik. Alinsky menekankan bahwa kekuatan sering kali bukan soal sumber daya riil, melainkan persepsi.

Lawan akan gentar jika mereka percaya kita memiliki daya yang lebih besar dari kenyataannya. Ia juga mengajarkan bahwa kadang-kadang, cara terbaik menggoyang kekuasaan adalah memaksa mereka hidup sesuai aturan yang mereka buat sendiri—aturan yang nyaris mustahil mereka patuhi tanpa tersandung.

Strategi-strategi yang ia ceritakan sering kali melibatkan humor, satire, dan aksi teatrikal yang mengganggu kenyamanan lawan. Baginya, politik bukan sekadar debat di podium, tetapi pertarungan untuk mengendalikan narasi publik.

Di tangan Alinsky, protes bisa berubah menjadi pertunjukan yang memalukan bagi penguasa, dan pertemuan formal bisa berakhir sebagai panggung absurditas. Dalam konteks Indonesia, cara berpikir ini terlihat dalam aksi kreatif mahasiswa, sindiran visual di media sosial, atau kampanye publik yang memutarbalikkan slogan resmi menjadi kritik tajam.

 

Relevansi di Era Politik Digital dan Poskolonial

Setengah abad setelah diterbitkan, buku ini tetap terasa segar justru karena prinsip dasarnya lintas zaman: kekuasaan yang tidak ditantang akan memadat menjadi tembok yang tak tertembus.

Di negara pasca-kolonial seperti Indonesia, situasi yang dihadapi rakyat kecil memiliki kesamaan struktural dengan yang ditemui Alinsky di Chicago. Di sini, kekuasaan politik, ekonomi, dan media kerap terkonsentrasi di tangan kelompok kecil, sementara lembaga negara sering menjadi benteng status quo, bukan penyalur aspirasi rakyat.

Namun, ada medan baru yang tidak dialami Alinsky: politik digital. Polarisasi yang dulu dibangun melalui selebaran dan rapat akbar kini bisa muncul hanya dalam hitungan jam lewat Facebook, Twitter atau X, TikTok, atau Instagram.

Humor, sindiran, dan provokasi—yang dulu menjadi senjata lapangan—kini dapat menjangkau jutaan orang sekaligus. Tetapi, senjata ini bermata dua. Polarisasi yang terlalu dalam dapat membeku menjadi kebencian, dan strategi yang awalnya dimaksudkan untuk melawan elite bisa disalahgunakan oleh elite itu sendiri untuk mempertahankan kekuasaan.

 

Penutup

Rules for Radicals bukan buku yang meninabobokan pembacanya dengan mimpi damai yang abstrak. Ia adalah manual perang politik bagi mereka yang berani mengakui kenyataan bahwa perubahan sosial memerlukan lebih dari sekadar moralitas—ia membutuhkan kecerdikan, kesabaran, dan keberanian untuk bermain di medan lawan.

Alinsky menulis dengan kejujuran yang sering kali mengejutkan, tanpa menghapus noda dan lumpur dari gambaran politik yang sesungguhnya.

Di Indonesia hari ini, ketika demokrasi formal kerap dikooptasi oleh oligarki dan politik uang, warisan Alinsky menawarkan pelajaran berharga: bahwa kekuasaan hanya akan berubah arah jika ada kekuatan lain yang memaksanya.

Perubahan tidak datang kepada mereka yang menunggu dengan sabar; ia datang kepada mereka yang mau mengorganisir, berstrategi, dan mengganggu kenyamanan status quo.***