Apabila si Chaplin Tidak Bayar Utangnya yang Dipastikan Sampai Rp 230 Triliun: Cerita tentang Lion Air
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 24 September 2022 10:54 WIB
ORBITINDONESIA - Dulu di masa Orde Baru ada anekdot. Kalau dalam sebuah keluarga, anaknya ulang tahun dihadiahi pesawat televisi itu sudah mewah banget. Tapi coba tengok bagaimana Soeharto memberi hadiah pada anak-anaknya, hadiah ulang tahunnya stasiun televisi.
Perbandingan yang sangat njomplang dan menyakitkan di masa lalu. Coba kita segarkan ingatan, bagaimana Tutut diberi TPI (sebelum jadi MNC yang kemudian jadi kasus gugat menggugat berkepanjangan) atau Bambang Tri dengan RCTI-nya.
Pun anak-anaknya Soeharto yang lain, yang walau tak seberapa besar tapi memiliki saham di SCTV atau Indosiar. Luwar biyasah.
Baca Juga: Pesawat Pembom Rahasia B-21 Raider akan Diungkapkan AS ke Publik pada Desember 2022
Tapi cerita brengsek seperti ini, rupanya bukan sembuh tapi semakin mengerikan di era reformasi ini. Puncak dari cerita gak masuk akal, yang pernah saya catat adalah kasus pembelian pesawat oleh maskapai Lion Air yang belakangan sangat berbau KKN.
Ini hanya repeat-story in different case: ketika seorang penguasa ingin mewarisi anak-anaknya, tidak hanya satu dua pesawat. Tapi ratusan.
Secara teknis, Lion Air didirikan dan dimiliki oleh Rusdi Kirana. Seorang pengusaha yang memulai bisnisnya dari penjualan tiket dan agen perjalanan. Bagaimana bisa dia lalu membesar sedemikian rupa?
Bisa, apa yang gak bisa di negara para bedebah ini. Selama negara, masih mau penjamin buat proyek mereka, apa sih yang tidak bisa digoreng.
Baca Juga: Komisi Yudisial akan Ikut Andil Periksa Keterlibatan Hakim yang Terkait Kasus Korupsi di MA
Ini adalah sebuah cerita fantastis, tentang sebuah kasus pembelian pesawat komersial terbesar di dunia yang pernah ada.