DECEMBER 9, 2022
Kolom

Catatan Denny JA: Ketika Mesin Mengebor Lebih Dalam, Melampaui Nurani

image
(OrbitIndonesia/kiriman)

Di Bolivia, danau garam mengering karena penambangan litium masif. Dan di Indonesia, nikel diekstraksi tanpa pemurnian teknologi, dijual murah, dan meninggalkan lumpur merah di sungai-sungai kecil.

Indonesia adalah contoh sempurna: kaya logam strategis, tapi miskin kontrol atas nilainya.

Green tech bisa menjadi kolonialisme baru yang memakai seragam ramah lingkungan. Hijau di permukaan, tapi merah di dalam.

Baca Juga: Hilangnya Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden Menurut Analisis Denny JA

Di tengah paradoks ini, Al juga menawarkan solusi: algoritma prediktif Equinor di Norwegia mampu menghemat 15% energi dengan mengoptimalkan tekanan pengeboran. 

Google DeepMind mengurangi 40% konsumsi pendingin data center via machine learning. 

Teknologi, ketika diarahkan untuk keseimbangan, bisa menjadi jembatan antara efisiensi dan keberlanjutan."

Baca Juga: Inilah Skenario Terbaik yang Bisa Diharapkan Indonesia dari Presiden Prabowo Subianto Menurut Analisis Denny JA

-000-

Di masa depan, perang energi bukan lagi soal invasi, tapi embargo teknologi. Negara-negara maju mengunci paten, menahan chip, dan memonopoli algoritma. 

Mereka tidak lagi menyerang kilang, tapi menghalangi lisensi software.

Baca Juga: Analisis Denny JA: Setelah Amerika Serikat Menjatuhkan Bom ke Iran

China dan AS bertarung dalam senyap—bukan soal minyak, tapi siapa yang mengontrol standar global.

Halaman:

Berita Terkait