Lompatan Estetika Lukisan Denny JA Melalui Genre Imajinasi Nusantara
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 19 Juli 2025 10:21 WIB

Respon Lima Kritikus Seni Rupa: Agus Dermawan T, Merwan Yusuf, Frigidanto Agung, Mayek Prayitno, dan Bambang A Widjanarko
ORBITINDONESIA.COM - Di sebuah gang kecil yang sunyi, rumah-rumah berarsitektur Nusantara tampak tertutup rapat. Tak ada suara tawa. Tak ada langkah kaki.
Di tengah jalan, berdiri seorang anak lelaki berkaus batik jingga, menatap ke langit yang biru senyap—namun justru paling gaduh dalam diamnya.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Apakah Pertamina Bisa Selamat di Era Tanpa Minyak?
Di langit itu, mengambang virus-virus raksasa berbentuk mahkota, bercahaya seperti planet, mengintai diam-diam dari semesta yang tampak sureal.
Lampu lalu lintas menyala merah, seolah berkata: “Berhenti. Dunia sedang luka.”
Lukisan ini adalah salah satu karya paling kuat dari Denny JA dalam genre yang ia cipta sendiri: Imajinasi Nusantara.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mantra Dunia Minyak, Ketahanan dan Kemandirian Energi
Ia bukan sekadar melukis, tetapi merumuskan lensa baru untuk melihat tragedi kolektif umat manusia, dengan akar budaya lokal dan kuasa teknologi kecerdasan buatan.
-000-
Apa itu Genre Lukisan Imajinasi Nusantara? Ia bukan hanya sebuah gaya lukis, melainkan sebuah genre: gabungan antara realisme manusiawi, motif batik sebagai bahasa visual, latar surealis sebagai ruang batin, dan AI sebagai alat pencipta.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bangkitnya Negara Minyak Melawan Super Power Dunia
Genre ini menjawab satu pertanyaan penting: bagaimana kita, bangsa Indonesia, merekam dunia global yang absurd dan menyakitkan—tanpa kehilangan akar dan jati diri?
Inspirasi genre ini berakar dari sebuah pagi di Kunsthistorisches Museum, Wina, saat Denny JA berdiri lama di depan Children’s Games karya Bruegel.
Di museum yang lainnya, di kota Viena yang sama, Denny merenungi dunia surealis Salvador Dali, letupan warna Van Gogh, dan kerumitan pikiran Picasso.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Saya Menerima Jabatan Komisaris Utama PT Pertamina Hulu Energi?
Tapi satu pertanyaan menggema: apakah ia hanya akan jadi penonton lukisan dunia, ataukah ia bisa mencipta kanvas kita sendiri?
Jawaban Denny JA: Imajinasi Nusantara—genre yang tak lahir dari tiruan, melainkan dari benturan antara batik, tragedi global, dan teknologi mutakhir.
-000-
Baca Juga: Catatan Denny JA: Donald Trump, Tarif 32 Persen dan Kisah Sepatu Cibaduyut
Lima kritikus seni rupa Indonesia menuliskan esai soal genre lukisan Denny JA, Imajinasi Nusantara, yang 72 lukisannya dibukukan berjudul “Handphone, Kita Dekat Sekali.”
Lima esai dari lima kritikus itu dapat dibaca di FaceBook: Gallery of Denny JA’s Painting+AI
Agus Dermawan T: Batik Sebagai Ikon Global dari Nusantara
Baca Juga: Catatan Denny JA: Matahari Terbit di Ladang Minyak, Transisi Energi dan Ketakutan Oligarki Lama
Menurut Agus Dermawan T., Denny JA tidak sekadar “menghias” lukisannya dengan batik, tapi menjadikannya napas.
Dalam setiap lipatan motif itu, ada ingatan kolektif, ada sejarah budaya yang ditanamkan dalam kesadaran visual dunia.
Ia menyebut genre ini sebagai cara menyurealkan realitas sosial-politik. Ini sebuah upaya artistik untuk menolak estetika kolonial dan modernisme Barat yang steril. Denny JA menggugat, bukan dengan amarah, tapi dengan batik.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Petrodollar, Uang Kertas, Minyak, dan Tahta Amerika
“Upaya artistik Denny yang menyurealiskan realitas… mengangkat karyanya sebagai genre yang khas dalam khazanah seni rupa Indonesia.”
Dalam konteks lukisan si anak di bawah langit pandemi, batik pada baju sang anak adalah simbol keterhubungan dengan tanah air, dengan sejarah, dengan rumah. Ia berdiri di kota yang hening, namun batiknya bicara.
Merwan Yusuf: Irealitas Konkret yang Menangis
Baca Juga: Catatan Denny JA: Wonderland, Dunia Kanak-kanan dalam Lukisan Genre Imajinasi Nusantara
Bagi Merwan Yusuf, genre ini bukan untuk menyenangkan mata, tapi untuk menyentak batin.
Ia menyebut karya Denny JA sebagai “irealitas konkret”—lukisan yang terlihat mustahil, tapi justru paling jujur dalam merekam tragedi.
Virus raksasa di langit bukan fiksi. Ia adalah simbol dari trauma kolektif yang nyata. Jalanan sepi, lampu merah, dan ekspresi sang anak adalah pantulan keheningan dunia saat lockdown.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Bumi yang Terluka
“Genre ini adalah tangisan pelan dan perlawanan terhadap estetika.”
Merwan melihat batik di lukisan ini bukan sebagai ornamen, melainkan sebagai medium protes—protes terhadap estetika yang lupa menangis, seni yang lupa pada manusia.
Ia melihat Imajinasi Nusantara sebagai seni yang bersujud, bukan bersolek.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Ketika Suara Rakyat Ditukar Liter Solar
Frigidanto Agung: Metafora untuk Realitas yang Retak
Frigidanto Agung menafsirkan lukisan ini sebagai “sambutan hangat terhadap realitas”. Ia tidak melihat surealisme sebagai pelarian, tetapi sebagai cara untuk merangkul luka secara lebih dalam.
“Selamat datang realita!”
Ia mengapresiasi bagaimana Denny JA menyatukan batik—yang biasanya bersifat dekoratif—ke dalam narasi yang penuh beban sejarah.
Langit berhiaskan virus adalah metafor dunia di mana langit pun tak lagi menjadi tempat pelarian.
Dalam pandangannya, genre ini adalah dokumentasi batin kolektif. Ia tak bicara lewat data, tapi lewat citra.
Ia bukan laporan WHO, tapi ia memeluk kita seperti ibu memeluk anak yang ketakutan.
MAYEK PRAYITNO: LOMPATAN ESTETIK DI ERA DIGITAL
Mayek Prayitno melihat Imajinasi Nusantara sebagai “lompatan estetik”—terutama karena Denny JA bukan sekadar memanfaatkan AI sebagai alat, tapi menyulapnya menjadi suara artistik yang reflektif dan puitis.
“Ia adalah suara liyan… yang menyebarkan pesan perdamaian.”
Dalam tafsir Mayek, Denny adalah pelukis yang bukan menggambar kekuatan, tapi luka.
Dan dari luka itulah muncul genre baru yang mampu menjembatani lokalitas dan globalitas.
Bambang Asrini Widjanarko: Lukisan sebgai Doa yang Diam
Bagi Bambang, lukisan ini adalah “arsitektur ingatan”—sebuah ruang meditasi visual yang menyatukan psikologi anak, sejarah lokal, dan simbol-simbol dunia digital.
Artificial intelligence (AI) dalam lukisan ini bukan pengganti pelukis, tapi medium baru dari jiwa seniman.
“AI adalah alat. Imajinasi adalah jiwa. Dan lukisan adalah doa yang diam.”
Ia melihat lukisan ini sebagai tempat orang bisa duduk diam dan merenung, dalam dunia yang serba cepat dan bising. Ia bukan poster pandemi. Ia adalah kamar batin.
-000-
Genre Imajinasi Nusantara tidak hanya mengolah narasi visual, tetapi juga menciptakan dialek budaya baru yang merespons zeitgeist (semangat zaman).
Dalam konteks Indonesia pascapandemi-di mana teknologi dan tradisi kerap berbenturan—genre ini menjadi ruang
negosiasi.
Batik tidak lagi sekadar kain, tapi kode visual yang menyimpan memori kolektif tentang ketahanan. Contohnya, pola parang yang biasanya melambangkan kesinambungan, diubah secara algoritmik oleh Al menjadi garis-garis terfragmentasi, merepresentasikan disrupsi sosial.
Dengan demikian, Denny JA tidak hanya melukiskan realita, tetapi memetakan DNA budaya
Indonesia yang terus bermutasi dalam labirin globalisasi-sebuah upaya yang
setara dengan manifesto kebudayaan di era digital.
Imajinasi Nusantara tidak mencoba menjawab dunia. Ia justru bertanya. Ia tidak menawarkan solusi, tetapi ruang permenungan.
Dalam dunia yang kian algoritmis, Denny JA mengingatkan kita bahwa seni bukan hanya produk teknologi, tapi warisan spiritual.
Anak dalam lukisan itu berdiri di ambang jalan. Tak tahu ke mana harus melangkah. Tapi dengan batik di tubuhnya, dan imajinasi di langitnya, ia masih punya satu hal yang tak bisa dikarantina: harapan.****
(Penerbit CBI)
-000-
Dua buku kumpulan lukisan Denny JA dalam Genre “Imajinasi Nusantara” dapat dilihat melalui link ini
Denny JA: Handphone Kita Dekat Sekali (2025)
https://drive.google.com/file/d/1LWyASOTWTfC17xDjRPdKIrJFzaVPK2oW/view?usp=drivesdk
Denny JA: Wonderland, Dunia Anak-anak
https://drive.google.com/file/d/1WCsyZ65SYXeg6uUD-GXzlxtLEpvvGzbG/view?usp=drive_link