DECEMBER 9, 2022
Kolom

Kesehatan Tanah untuk Keberlanjutan Ekosistem

image
Ilustrasi - Foto udara petani membajak sawah menggunakan traktor di lahan terasering Desa Kalisemut, Kecamatan Padang, Lumajang, Jawa Timur, Rabu, 7 Mei 20252. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/Spt.

Contoh lain adalah tanah sulfat masam di pesisir Kalimantan Barat, yang kaya dengan mineral pirit (FeS₂) dan tergenang air. Tanah ini merupakan habitat alami hutan bakau atau mangrove. Jika dikeringkan, pirit akan teroksidasi dan menyebabkan tanah menjadi sangat asam dan beracun.

Apakah tanah ini tidak sehat? Berdasarkan definisi FAO, selama tanah tersebut mendukung ekosistem alaminya, maka ia tetap sehat. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria kesehatan tanah tidak dapat disamakan dengan kesuburan tanah semata, karena kesuburan lebih menekankan pada produktivitas pertanian.

Tantangan mengelola

Baca Juga: PM Spanyol Pedro Sanchez Kecam Trump: Tak Ada Real Estat Bisa Tutupi Kejahatan di Gaza

Pandangan masyarakat tentang kesehatan tanah masih sering keliru. Banyak yang menganggap bahwa penggunaan pupuk sintetis secara terus-menerus adalah penyebab utama tanah menjadi tidak sehat.

Padahal, pertanian adalah proses yang mengekstraksi unsur hara dari tanah melalui panen. Oleh karena itu, unsur hara seperti nitrogen (N), fosfor (P), dan kalium (K) perlu dikembalikan agar produktivitas bisa berlanjut. Tanaman tidak menyerap bahan organik, melainkan unsur hara yang terkandung di dalamnya.

Memang betul, banyak tanah telah habis dikuras dengan pertanian terus menerus, sehingga bahan organik rendah dan rentan erosi.

Baca Juga: Tadahiko Ito: Jepang Akan Menangani Penggunaan Kembali Tanah Dekontaminasi Radiasi Fukushima

Banyak pengolahan lahan yang dapat diterapkan untuk mencegahnya seperti pertanian sistem tanpa olah tanah, agroforestry, dan penanaman penutup tanah. Kegagalan sering terjadi ketika pembukaan lahan tidak mempertimbangkan kapasitas dan karakteristik tanah.

Misalnya, tanah rawa di Kalimantan, yang secara alami mengandung mineral pirit, bukan tidak sehat, melainkan memang tidak cocok untuk budi daya tanaman pangan dan hortikultura karena ketika dikeringkan segera teroksidasi menjadi tanah sulfat masam.

Upaya untuk "menyehatkan" tanah-tanah seperti itu dengan bahan organik, biochar, atau kapur seringkali tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.

Baca Juga: Catatan Denny JA: Menuju Perang Dingin 2.0, dan Kekalahan Amerika Serikat?

Contoh nyata adalah proyek food estate di Humbang Hasundutan yang gagal karena tanahnya memiliki kemasaman tinggi dan daya serap hara yang rendah, sehingga tidak mendukung tanaman hortikultura.

Halaman:

Berita Terkait