Catatan Denny JA: Ketika 221 Penulis Bersaksi soal Pemilu dan Demokrasi di Indonesia, Tahun 2024
- Penulis : M. Ulil Albab
- Minggu, 17 November 2024 09:07 WIB
ORBITINDONESIA.COM - “Dalam diam, kata memiliki kekuatan. Ketika suara tak didengar, penulis menjadikan kalimat sebagai nyala api. Ia berikhtiar membakar yang keliru dan menerangi yang benar.”
Kutipan ini menjadi fondasi bagi buku ini. Dalam sejarah, penulis sering mengambil peran penting di saat bangsa mereka berada di persimpangan jalan.
Dari Victor Hugo yang menyerukan revolusi sosial di Prancis, hingga Pramoedya Ananta Toer yang merekam perjuangan identitas bangsa dalam bayang kolonialisme—penulis selalu menjadi saksi, penjaga, sekaligus penggerak zaman.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Hukum Kelima Hidup Bermakna, Spiritualitas dan Wellness
Mereka tidak hanya mencatat, tetapi juga mengintervensi, menggugah, dan memberi makna pada peristiwa.
Demikianlah peran yang diambil oleh 221 penulis dalam buku ini. Di tengah gejolak demokrasi Indonesia, suara mereka menjadi mercusuar yang memandu di lautan luas perdebatan pemilu dan pilkada 2024.
Karya-karya ini tidak hanya memotret fenomena, tetapi juga mengupas makna, mengajukan pertanyaan, dan menawarkan refleksi.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Renungan Sumpah Pemuda, Warna Nasionalisme di Era Algoritma
-000-
Buku kumpulan ekspresi penulis ini istimewa karena ia lahir dari keberagaman.
Suara 221 penulis dari berbagai latar belakang—cerpenis, penyair, esais—memberikan spektrum pandangan yang mencakup dimensi politik, sosial, dan kultural dari Pilkada 2024.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menambah Elemen Penghayatan bahkan untuk Hal-hal Kecil
Ini bukan pilkada biasa, tapi pilkada 2024 melahirkan rangkaian gelombang protes besar dari berbagai guru besar, aktivis, mahasiswa, dan penggiat civil society lainnya.
Kesepakatan elit politik saat itu dianggap sudah melampaui batas toleransi sebuah negara yang berkomitmen menegakkan demokrasi dan prinsip konstitusi, dengan peran sentral Mahkamah Konstitusi.
Setiap karya menjadi potret mikro, menangkap detail yang mungkin luput dari pengamatan publik luas.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Menyelamlah, Apapun Agama yang Dianut
Bersama-sama, mereka membentuk gambaran makro yang utuh, menunjukkan kompleksitas demokrasi Indonesia.
Lebih dari sekadar kumpulan tulisan, buku ini adalah arsip sejarah. Pilkada serentak 2024, memilih pemimpin di seluruh daerah Indonesia, dari Aceh hingga Papua, adalah momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Karena begitu banyak dan beragamnya tulisan yang harus diedit, buku ini dikawal oleh empat editor sekaligus: Satrio Arismunandar, Jonminofri, Dhenok Kristianti, dan Elza Peldi Taher.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Mengapa Donald Trump Menang? Dan Apa Efeknya Buat Indonesia?
Dalam setiap esai, puisi, dan cerpen, tersimpan kesaksian yang merekam bagaimana masyarakat memahami, merayakan, dan mengkritisi demokrasi pada level yang paling personal.
Program ini juga menjadi bukti kekuatan kolaborasi. Di bawah naungan Satupena, para penulis dari berbagai daerah bergabung untuk bersaksi.
Ini bukan sekadar koleksi individu, tetapi juga manifestasi dari solidaritas komunitas penulis yang percaya bahwa kata-kata dapat menjadi alat perubahan.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Neuroscience, Samudra Spiritualitas Berakar di Saraf Manusia
-000-
Beberapa karya dalam buku ini menonjol, baik dalam genre esai maupun fiksi.
Dari kategori esai nonfiksi, “Demokrasi Minus Nilai Keadaban” karya Musdah Mulia adalah refleksi tajam tentang moralitas dalam politik Indonesia. Esai ini mengingatkan bahwa tanpa nilai-nilai keadaban, demokrasi hanyalah formalitas kosong.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Lima Prinsip Hidup Bahagia dan Bermakna
Kemudian, “Pilkada dan Plus Minus Kotak Kosong” oleh Adi Suryadi Culla mengupas fenomena unik ini dengan analisis mendalam.
Esai “Integrasi Teknologi AI dan Big Data Perlancar Pilkada 2024” karya Rayendra L. Toruan menunjukkan bagaimana teknologi bisa mengubah wajah pemilu, membawa dimensi baru dalam perbincangan politik.
Dari kategori fiksi, cerpen “Suara Perubahan” oleh Affan Safani Adham mengisahkan upaya seorang mahasiswi menggerakkan kampungnya untuk memilih secara kritis. Cerpen ini mengingatkan bahwa perubahan selalu dimulai dari tindakan kecil.
Puisi esai “Pesta Para Rampok” oleh Dhenok Kristianti adalah satire tajam yang mengecam korupsi di balik demokrasi.
Sementara itu, puisi “Ratapan Demokrasi” karya Faiza Arsalan menjadi elegi pilu bagi nilai-nilai demokrasi yang tercederai.
Banyak lagi topik penting dari 221 penulis yang tak bisa dibahas satu per satu.
Baca Juga: Catatan Denny JA: Potret Batin Indonesia, Aceh hingga Papua, dari Kacamata Generasi Z
Demokrasi adalah lentera yang hanya dapat menyala jika setiap elemen masyarakat menjaganya, termasuk penulis.
Dalam sejarah, penulis selalu hadir di garis depan, menjadi saksi dan penjaga moralitas bangsa. Ketika politik terjebak dalam permainan kekuasaan, suara penulis adalah pengingat bahwa demokrasi bukan sekadar kotak suara, tetapi jiwa bangsa yang harus dijaga dengan integritas.
Pemilu adalah momen di mana suara rakyat menjadi kekuatan. Namun, sering kali, momen ini tercemar oleh manipulasi, ketidakadilan, dan apatisme.
Di sinilah penulis mengambil peran yang vital. Lewat kata-kata mereka, penulis menyuarakan yang bisu, menerangi yang gelap, dan melawan narasi palsu yang merusak kepercayaan publik.
Mereka tidak hanya menulis untuk mencatat, tetapi untuk menggerakkan hati dan pikiran, memastikan demokrasi tetap menjadi alat perjuangan rakyat, bukan permainan elit.
Lebih dari itu, penulis adalah penjaga harapan. Dalam puisi, esai, atau cerita, mereka menanamkan mimpi tentang pemimpin yang adil dan masyarakat yang berdaya.
Spirit ini penting karena demokrasi tanpa harapan adalah demokrasi yang rapuh. Dengan tulisan, mereka merawat optimisme publik dan menolak kepasrahan terhadap realitas yang korup.
Ketika suara penulis hadir, ia menjadi nyala kecil yang menghidupkan semangat besar. Spirit ini memastikan bahwa pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, tetapi tentang menjaga nilai-nilai yang menyatukan kita sebagai bangsa.
Sebab tanpa spirit itu, demokrasi dapat kehilangan jiwanya, dan tanpa jiwa, demokrasi hanyalah ritual kosong.
Tugas merawat demokrasi, dan melindunginya, bukan hanya mulia, tetapi juga mendesak, demi memastikan masa depan yang lebih baik bagi semua.
-000-
Buku ini adalah karya bersama, buah dari semangat kolektif yang didorong oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, 2024.
Dalam sejarah, penulis selalu menjadi elemen penting merespons diskursus publik. Ketika suara masyarakat terancam terpinggirkan oleh bising politik dan kekuasaan, penulis hadir untuk memastikan bahwa demokrasi tetap bermakna.
Satupena, melalui program ini, membuktikan bahwa ruang bagi penulis untuk bersuara adalah elemen vital dalam menjaga jiwa bangsa.
“Di tengah gelapnya kebisingan politik saat itu,
penulis hadir seperti lilin
kecil di lorong panjang.
Buku ini adalah ratusan lilin yang menyatu,
berikhtiar ikut menerangi jalan bagi demokrasi, sekecil apa pun. Itu bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga untuk generasi yang akan datang."
Jakarta, 17 November 2024 ***
Referensi:
The Writer and the World: Essays”
Penulis: V.S. Naipaul
Tahun Terbit: 2002
Penerbit: Alfred A. Knopf