Memperluas Tafsir Kurban Hewan: Kurban Tak Sebatas Bahimatul An'am
- Penulis : Dody Bayu Prasetyo
- Selasa, 13 Agustus 2024 07:11 WIB
MUI baru mengeluarkan fatwa tentang hewan kurban pada 31 Mei 2022, yang diterbitkan terkait kondisi khusus terjadinya wabah penyakit mulut dan kuku. Dalam kondisi ini, MUI tetap mengharuskan kurban berupa hewan, dengan menekankan syarat kelayakan, termasuk aspek kesehatannya.
Menariknya, pada tahun 2001, menanggapi wabah penyakit kaki dan mulut di Eropa, Imam Masjid Paris mengeluarkan fatwa bahwa kurban hewan pada Idul Adha tidak wajib.
Menurut fatwa ini, kurban hewan dapat diganti dengan memberikan sepertiga harga seekor domba dalam bentuk uang tunai kepada orang miskin. Ini sejalan dengan ide yang diusulkan oleh Denny.
Baca Juga: Kurban dan Cinta (Refleksi Hari Raya Idul Qurban)
Sebelumnya, selama tahun 1990-an, Raja Hassan dari Maroko pada dua kesempatan bahkan mengambil langkah lebih ekstrem dengan melarang penyembelihan hewan kurban karena kondisi ekonomi negara yang terpuruk.
Bagi Raja Hassan, menyembelih hewan kurban hukumnya hanya sunnah dan dapat ditiadakan dengan alasan kesejahteraan umat Muslim di Maroko.
Memang, hukum berkurban adalah sunnah sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih, dan ditambahkan menjadi sunnah “muakkadah” oleh MUI dalam fatwanya No. 32/2022.
Baca Juga: Anda Mimpi Mengikuti Tes atau Ujian, Apa Tafsirnya?
Sunnah berarti sesuatu yang boleh dikerjakan, namun juga boleh tidak dikerjakan. Itupun bersyarat: hanya berlaku bagi umat Islam yang baligh, berakal, dan mampu.
Dasar hukum perintah sunnah berkurban, menurut MUI, terdapat dalam al-Qur’an, yaitu ayat 1-3 surah Al-Kautsar (108):
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Baca Juga: Puisi Prof. Dr. I Ketut Surajaya: Hukum Kaya Tafsir
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberimu (Nabi Muhammad) nikmat yang banyak. Maka, laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah!”