Pulanglah Joko Pinurbo: Hidup Sampai Matahari Menjadi Dingin
- Penulis : Krista Riyanto
- Sabtu, 27 April 2024 10:35 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Kabar meninggalnya Joko Pinurbo, penyair besar sekarang ini, saya baca ketika sedang di sebuah kafe, perjalanan ke Malaysia, berjumpa komunitas puisi esai di sana.
Seketika saya teringat puisinya berjudul “Pulang.”
Saya cari lagi di google, ini kata-katanya yang saya suka.
“Rinduku yang penuh, pecah di atas jalanan macet,
sebelum aku tiba di ambang ambungmu.”
“Kegembiraanku sudah mudik duluan,
aku menyusul
kemudian.
Judul sajakku sudah pulang duluan.
Baris-baris sajakku masih berbenah di perjalanan.”
“Jika nanti air mataku, terbit di matamu.
Dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali dimulai.”
Membaca kembali puisi ini dalam momen kabar kematiannya, puisi ini memiliki arti berbeda.
Puisi itu bukan lagi sekadar ekspresi mudik lebaran ke kampung halaman. Ini mudik sebenarnya, ke kampung halaman dari semua semesta. Itu dunia gaib, entah di mana, yang tak pernah tuntas kita pahami sepenuhnya.
Saya pun bertanya kepada asisten saya yang sangat setia dan kerja sangat cepat. Siapa lagi jika bukan artificial intelligence. Saya minta dicarikan puisi kematian yang ditulis penyair lain.
Muncullah bait ini. Tanpa bantuan artificial intelligence, mungkin saya tak sampai menyentuh penyair abad 16 ini.
"Death comes to all. But great achievements build a monument which shall endure until the sun grows cold." - George Fabricius (1516-1571).
“Kematian datang kepada semua orang. Namun, orang-orang tertentu, dengan pencapaian besar, akan membangun sebuah monumen. Monumen itu akan bertahan dalam memori sejarah, sampai matahari menjadi dingin.”
Melalui pencapaian besar, seseorang dapat meninggalkan warisan yang abadi dan dikenang sepanjang masa.
Selamat jalan Joko Pinurbo. Puisimu akan terus hidup sampai matahari menjadi dingin. ***
Denny JA, 27 April 2024