DECEMBER 9, 2022
Orbit Indonesia

Denny JA: Seruan Hukuman Mati Buat Penulis Sastra Seperti Salman Rushdie Belum Tentu Mewakili Islam

image
Denny JA, webinar Salman Rushdie

 

ORBITINDONESIA - Kita belum bisa menentukan apakah seruan hukuman mati bagi penulis karya sastra, seperti Salman Rushdie, mewakili Islam. Hal ini karena agama itu adalah masalah interpretasi. Ada Islam konservatif, Islam Timur Tengah, Islam liberal, Islam moderat, dan Islam yang banyak mengakomodasi prinsip HAM dan nilai-nilai Eropa.

Hal itu diungkapkan Denny JA, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia, SATUPENA, dalam Webinar di Jakarta, Kamis malam, 25 Agustus 2022. Webinar ini membahas tema “Salman Rushdie dan Kebebasan Berekspresi.”

Pemandu diskusi adalah Elza Peldi Taher dan Amelia Fitriani. Diskusi ini dipicu oleh kasus penikaman terhadap novelis kontroversial Salman Rushdie pada 12 Agustus 2022 di New York, AS.

Baca Juga: Transparansi e-Vote Masih Bermasalah, Picu Ketidakpercayaan Voter pada Panitia Pemila Ketua Umum ILUNI UI

Karya Rushdie, The Satanic Verses, sempat dilarang di sejumlah negara Muslim karena dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW.

Denny menuturkan, mengapa ada dua respon yang bertentangan terhadap karya Rushdie. “Kita hidup dalam dua moralitas: Barat versus Islam. Hak asasi manusia versi PBB di dunia Barat, syariah di dunia Islam,” ujar Denny.

Beberapa negara Islam sempat berkumpul dan mengeluarkan versi HAM-nya sendiri. Ada HAM versi Deklarasi Kairo (1990). “Mereka mendukung sebagian saja HAM versi PBB. Sedangkan hukum Syariat Islam di atas kebebasan berekspresi,” sambung Denny.

Dalam situasi semacam ini, Denny mengisyaratkan bisa mengambil sikap agree to disagree (sepakat untuk tidak sepakat).

Baca Juga: PSM Makassar Takluk 5-2 Atas Kuala Lumpur City FC di Final Zona ASEAN AFC Cup 2022

Bagi yang tidak setuju pada karya Rushdie, ada empat opsi tindakan. Pertama, bawa saja Rushdie ke pengadilan, biar pengadilan yang memutuskan.

Kedua, aksi protes damai. Ketiga, bikin kampanye boikot jangan membeli karya ini. “Keempat, di medsos kini ada cancel culture, kampanye stop following di media sosial, yang terbukti efektif membuat seorang selebritas ditinggalkan pengikutnya,” jelas Denny.

Sejak Rushdie diserang di New York, ada dua respon atas penikaman itu. Beberapa suratkabar Iran dan Lebanon memuji orang yang menikam Rushdie.

Suratkabar garis keras Kayhan, yang pimpinan redaksinya ditunjuk oleh pemimpin spiritual Iran Ayatullah Ali Khamenei, menulis: “Selamat untuk sang pemberani dan taat yang menyerang si murtad.”

Baca Juga: Rayhan Utina Dipanggil Shin Tae-Yong, Firman Utina: Berjuang Boy

Serangan ke Rushdie dianggap pembalasan atas penghinaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad.

Sedangkan The Guardian, Inggris, yang mewakili perspektif dunia Barat, memandang penikaman terhadap Rushdie sebagai ancaman pada kebebasan beropini.

“Jika kita tidak membela kebebasan berbicara, kita hidup dalam tirani. Salman Rushdie menunjukkan hal itu.”

Kolumnis The Washington Post di AS menulis: “Salman Rushdie mungkin akan pulih, tetapi kebebasan berekspresi, tidak.”***

 

 

Berita Terkait