Diskusi Buku di IAIN Bangka Belitung, Membedah Pemikiran Denny JA tentang Agama sebagai Warisan Kultural
- Penulis : Krista Riyanto
- Jumat, 22 Desember 2023 14:44 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Akhir-akhir ini reformis dari berbagai tradisi keagamaan mengajukan pendekatan teologi toleransi untuk membangun perdamaian antaragama.
Namun pada waktu bersamaan muncul perlawanan dari kalangan konservatif yang menolak pendekatan teologi karena dianggap menodai keyakinan.
Secanggih apapun pendekatan teologi tetap akan menimbulkan resistensi, karena teologi dibangun di atas teks yang multi interpretasi.
Inilah keterbatasan pendekatan teologi. Oleh karena itu, gagasan Denny JA yang menawarkan pendekatan sosiologis atau nonteologi dalam hubungan antaragama, patut disambut gembira, karena akan memberi sumbangan yang besar pada dialog agama.
Mungkin ini sumbangan terbesar setelah Hans Kung, seorang teolog Katolik berkebangsaan Swiss, dengan gagasan dialog agama untuk perdamaian dunia, yang dalam tiga dekade terakhir menjadi trend di kalangan umat beragama.
Pendekatan nonteologi yang digagas Denny JA adalah memandang agama sebagai warisan bersama umat manusia dan karena itu, ia menjadi milik bersama.
Demikian benang merah yang muncul dalam diskusi buku Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google (Penerbit Cerah Budaya, 2023).
Diskusi diadakan di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syaikh Abdurrahman Siddik (SAS), Bangka Belitung, pada Rabu, 13 Desember 2023.
Tampil selaku narasumber dalam diskusi tersebut adalah Ahmad Gaus sebagai penulis buku, dan Dr. Zaprulkhan, dosen IAIN SAS.
Di hadapan seratusan peserta yang hadir, Gaus menceritakan bahwa ia telah menulis pemikiran tokoh-tokoh besar Islam dalam berbagai buku seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Buya Syafii Maarif.
Mereka adalah tokoh-tokoh pencerahan karena pemikiran mereka mengubah paradigma dan menawarkan sesuatu yang berbeda. Pemikiran Islam yang berkembang di luar itu, menurut Gaus, cenderung mengikuti arus utama, sehingga memperkuat konservatisme.
“Praktis setelah era Cak Nur, Gus Dur, Buya Syafii, dan gerakan semacam Islam liberal, kita tidak menemukan lagi pemikiran yang mendobrak. Wacana keagamaan menjadi stagnan.
Untunglah saya kemudian membaca pemikiran Denny JA yang benar-benar berbeda dari pemikiran siapapun sebelumnya.
“Inilah yang disebut pencerahan,” ujar Gaus.
Pemikiran Baru
Ia melanjutkan, pandangan Denny JA bahwa agama-agama merupakan warisan bersama umat manusia adalah pemikiran baru yang akan mengubah kesadaran umat manusia dalam memandang perbedaan dan sekaligus memosisikan agama mereka di hadapan agama-agama lain.
“Ini terobosan luar biasa dalam pemikiran keagamaan di luar perspektif teologi. Di masa depan pandangan ini akan menjadi tesis besar dan akan terus bergulir memengaruhi diskursus keagamaan dan perdamaian.”
“Harusnya ini diadopsi oleh pemerintah yang sekarang sedang gencar mengkampanyekan moderasi beragama,” tambahnya.
Pemikiran Denny JA bahwa agama adalah warisan kultural milik bersama umat manusia, menurut Gaus, menjadi jalan keluar dari kebuntuan teologi yang selama ini mempersepsi agama sebagai kebenaran mutlak.
Pandangan teologis inilah yang telah menyumbang pada kekerasan berdarah sepanjang sejarah.
Iman Berbasis Riset
Pada kesempatan yang sama, Zaprulkhan menegaskan bahwa pemikiran Denny JA membersitkan optimisme tentang masa depan agama.
Jika selama ini para pemikir progresif terlalu keras mengkritik konservatisme maka yang terjadi justru arus balik.
Di mana-mana kita menyaksikan kebangkitan agama puritan yang berciri intoleran dan menebarkan permusuhan.
Salah satu core pemikiran Denny JA yang cukup menarik, ungkap Zaprulkhan, adalah iman berbasis riset.
Pendekatan riset, dalam hal ini, riset kuantitatif dalam keberagamaan diperlukan agar keimanan kita tidak berpijak pada kepercayaan buta semata.
Dengan kata lain, pendekatan kualitatif perlu diperkaya dengan pendekatan kuantitatif berdasarkan riset.
Sebab salah satu signifikansi pendekatan kuantitatif atas fenomena agama dapat menumbuhkan proses pendewasaan hidup beragama.
Begitu pula dengan paradigma inklusif dalam memandang agama sebagai warisan kultural milik bersama umat manusia, bukan paradigma eksklusif yang hanya memandang agama sendiri sebagai satu-satunya kebenaran dan menafikan eksistensi berbagai agama-agama lainnya.
“Paradigma inklusif inilah yang perlu disosialisasikan secara massif dalam rangka mewujudkan wajah kehidupan bumi yang penuh kedamaian, kesejukan, toleransi dan harmoni universal," katanya.
Gaus menambahkan, pendekatan kebudayaan seperti yang dikerjakan oleh Denny JA perlu digalakkan.
Ia mengutip beberapa ilustrasi yang dikemukakan Denny JA tentang beragama di era Google, khususnya di dunia Barat dimana saat ini acara perayaan-perayaan keagamaan seperti Natal atau Idul Fitri tidak hanya dilakukan oleh umat bersangkutan melainkan juga dirayakan oleh umat agama lain.
Jadi, ujarnya, umat non-Islam pun sekarang ini banyak yang ikut merayakan lebaran, karena itu dipahami sebagai perayaan kemanusiaan. Begitulah ciri beragama di era Google.
Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu diselingi pembacaan puisi oleh seorang mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN SAS bernama Nurul Hasanah.
Di akhir acara Dr. Zaprulkhan membagi hadiah buku kepada enam orang peserta yang memberi tanggapan atas materi diskusi.
Sembilan Pemikiran Denny JA
Buku “Era Ketika Agama Menjadi Warisan Kultural Milik Bersama: Sembilan Pemikiran Denny JA Soal Agama di Era Google., diterbitkan oleh Cerah Budaya Indonesia (CBI), Maret 2023. Di dalamnya terdapat sembilan bab yang masing-masing membahas mengenai aspek-aspek pemikiran Denny JA seputar femomena agama mutakhir dan spiritualitas, yakni: Bab 1, Iman Berbasis Riset.
Bab 2, Manusia: Dengan atau Tanpa Agama. Bab 3, Kitab Suci di Abad 21. Bab 4, Moderasi Beragama dan Kesetaraan Warga. Bab 5, Hijrah Menuju Demokrasi.
Bab 6, Perebutan Tafsir Agama. Bab 7, Menggandeng Sains dan Jalaluddin Rumi. Bab 8, Spiritualitas Baru Abad 21, dan Bab 9, Agama: Warisan Kultural Milik Bersama Umat Manusia.
Gaus juga meringkas pemikiran Denny JA seputar agama di era Google dalam sembilan butir sbb:
1. Pentingnya pendekatan kuantitatif untuk membuat perbandingan soal peran agama di masyarakat.
2. Para arkeolog berjasa mengkonstruksi ulang kisah agama.
3. Setelah Nabi tiada, tiada pula tafsir tunggal agama. Yang tersisa adalah perebutan tafsir. Penting kita memilih tafsir yang sesuai dengan prinsip HAM.
4. Muslim Eropa memgembangkan tafsir Islamnya sendiri yang sesuai dengan kultur Eropa. Kita pun di Indonesia tak perlu terikat dengan tafsir kultur Timur Tengah.
5. Bagi yang tak meyakini agama, agama dapat dinikmati sebagai sastra. Apa yang terjadi pada kitab suci La Galigo dapat juga terjadi pada agama lain.
6. Pentingnya mencari intisari semua agama berdasarkan the science of happiness dan neuro science. Denny JA mengembangkan spirituality of happiness.
7. Mendekati agama sebagai kekayaan kultural milik bersama. Merayakan hari besar agama lain sebagai social gathering lintas agama.
8. LGBT sebagai isu HAM masa kini. Pentingnya mengembangkan tafsir agama yang tidak mendiskriminasi kaum LGBT.
9. Perlunya menggandeng Science dan Jalaluddin Rumi.
Itulah ringkasan sembilan pemikiran Denny JA dari sembilan esai dalam buku yang ditulis oleh Ahmad Gaus. Di antara pemikiran Denny JA yang terpenting dan sangat dibutuhkan saat ini, ujar Gaus, ialah pandangannya bahwa agama perlu didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama umat manusia.
Pandangan semacam ini menjadi modal sosial dan modal kultural untuk membangun masyarakat yang damai dan toleran. ***