Bulog: Indonesia Berpeluang untuk Ekspor Beras Karena Kondisi Stok Stabil
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Sabtu, 20 Agustus 2022 01:11 WIB
ORBITINDONESIA - Kepala Divisi Pengadaan Komoditi Perum BULOG, Budi Cahyanto menyampaikan, stok beras dalam negeri cukup stabil. Bahkan, Budi menyebut Indonesia berpeluang untuk melakukan ekspor.
"Untuk beras sendiri, saya pikir stoknya sangat kuat, sangat baik," kata Budi dalam diskusi bertema “Tantangan Ketahanan Pangan Hadapi Krisis Global” yang digelar Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) pada Jumat, 19 Agustus 2022.
Saat ini, Budi mengatakan, stok beras di dalam negeri kurang lebih mencapai 1,1 juta ton. Jumlah ini sudah sesuai dengan ketentuan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan).
Baca Juga: Kemenkop UKM Prioritaskan Papua dan Papua Barat dalam Peningkatan Literasi Digital
"Kemudian yang direkomendasikan juga oleh para analis dari Universitas Gajah Mada (UGM), bahwa dengan jumlah penduduk Indonesia kurang lebih 260 juta itu, kita paling tidak memiliki stok 1 sampai 1,5 juta ton," ungkapnya.
Budi mengatakan, dengan jumlah stok yang cukup kuat tersebut, masyarakat Indonesia diharapkan tidak perlu khawatir. Sebab dengan kondisi demikian, Indonesia bahkan berpontensi melakukan ekspor beras ke negara-negara yang membutuhkan.
Namun, menurut Budi, beras-beras yang diekpor harus merupakan beras-beras varian khusus yang hanya ada di Indonesia. Seperti Pandan Wangi, Rojo Lele dan Mentik Wangi atau beras Mentik, di mana beras ini tidak ditemukan di tempat lainnya di dunia.
"Kalau itu mungkin tantangan ke depan, bagaimana BULOG bisa membuka peluang ekspor ke negara-negara yang memang membutuhkan," tambahnya.
Baca Juga: Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia Pacu Pertumbuhan UMKM Papua
Budi menambahkan, Indonesia merupakan produsen beras terbesar kedua di dunia. Posisi pertama ditempati China. Hanya saja memang konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi.
"Produksi pertama itu ada di China, kemudian yang kedua di Indonesia. Jadi menurut saya Indonesia memiliki potensi untuk untuk melakukan ekspor," paparnya.
Pada forum yang sama, Ketua Umum Dewan Pakar DPP Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Agus Pakpahan menyampaikan pandangannya terkait ketahanan pangan dari beragam sudut pandang.
Pertama adalah dimensi sumber daya, yang memperlihatkan kapasitas atau luas lahan dan penerapan teknologi serta kapasitas kebijakan.
"Sehingga konteks ketahanan pangan kita ukur dari sumber daya yang diterjemahkan ke dalam kapasitas produksi. Ini untuk memenuhi kebutuhan aktual, buat memenuhi kalau ada resiko, dan juga memenuhi kalau misal terjadi ketidakpastian. Seperti perang Ukraina, tsunami atau macam-macam bencana dan lain-lain," paparnya.
Kedua adalah dimensi jangka pendek. Dimensi ini, kata Agus, untuk mengukur bahan kebutuhan pokok lainnya secara menyeluruh.
"Artinya, kalau kita lihat pada komoditas tertentu mungkin kita merasa tahan, tapi kalau totalitas belum tentu juga," bebernya.
Sementara dimensi ketiga, tambah Agus, adalah dimensi entitlement.
Baca Juga: Menkes Budi Gunadi Dorong Faskes Gunakan Alkes Produksi Dalam Negeri, Ini Alasannya
Dimensi ini untuk mengukur bahwa keberlimpahan stok bukanlah jaminan masyarakat tidak kelaparan. Seperti yang terjadi di Banglades pada 1943.
"Kelaparan Banglades pada 1943 di mana kurang lebih 3,8 juta jiwa meninggal dunia, bukan karena tidak ada makanan tapi tidak bisa membelinya. Atau kasus minyak goreng baru-baru ini," bebernya.***