Cerita Lama Era SBY tentang Skandal Pembelian Pesawat oleh Lion Air dan Rusdi Kirana
- Penulis : Dimas Anugerah Wicaksono
- Rabu, 17 Mei 2023 10:10 WIB
ORBITINDONESIA.COM - Dulu di masa Orde Baru ada anekdot. Kalau dalam keluarga, anak yang berulang tahun dihadiahi pesawat televisi, itu sudah sangat mewah. Tapi coba tengok bagaimana Soeharto memberi hadiah pada anak-anaknya: stasiun televisi.
Perbandingan yang sangat njomplang dan menyakitkan. Coba kita segarkan ingatan, bagaimana Tutut diberi TPI (sebelum jadi MNC yang kemudian jadi kasus gugat menggugat berkepanjangan).
Atau Bambang Trihatmojo dengan RCTI-nya. Pun anak-anaknya yang lain, yang walau tak seberapa besar tapi memiliki saham di SCTV atau Indosiar. Luar biasa!
Baca Juga: SEA Games 2023: Songchai Thongcham Kena Karma Karena Ucapannya Tidak Menjadi Kenyataan
Tapi cerita berengsek seperti ini, rupanya bukan sembuh tapi semakin mengerikan di era reformasi. Puncak dari cerita mengerikan ini, yang pernah saya catat adalah kasus pembelian pesawat oleh maskapai Lion Air yang belakangan sangat berbau KKN.
Ini hanya pengulangan, ketika seorang penguasa ingin mewariskan pada anak-anaknya, tidak hanya satu dua pesawat. Tapi ratusan!
Secara teknis, Lion Air didirikan dan dimiliki oleh Rusdi Kirana. Seorang pengusaha yang memulai bisnisnya dari penjualan tiket dan agen perjalanan. Bagaimana bisa dia lalu membesar sedemikian rupa?
Bisa, apa yang tak bisa di negara para bedebah ini. Selama negara, masih mau jadi penjamin buat proyek mereka. Apa sih yang tidak bisa digoreng.
Baca Juga: Bursa Transfer Liga 1: Sayuri Bersaudara Tetap Bersama PSM Makassar
Ini adalah sebuah cerita fantastis, tentang sebuah kasus pembelian pesawat komersial terbesar di dunia yang pernah ada. Pembelian dalam jumlah besar pertama, dilakukan oleh maskapai berlogo singa ini pada November 2011.
Kala itu, Lion Air dan Boeing mengikat komitmen bersejarah dengan pemesanan pesawat tipe B-737 sampai dengan 380 unit. Rinciannya, sebanyak 201 unit pesawat jenis B-737 MAX dan 29 unit armada tipe B-737-900ER Next Generation senilai $21,7 miliar. Itu pesawat benaran, bukan pesawat mainan.
Belum selesai sampai di situ, pada Maret 2013, Lion Air Group juga menambah koleksi armada dengan memesan 234 unit pesawat Airbus A320 buatan pabrik Airbus. Dunia kedirgantaraan nasional maupun internasional gempar.
Presiden Prancis saat itu, Francois Hollande, turut menjadi saksi seremonial penandatanganan kontrak pembelian.
Baca Juga: AMDK Galon Guna Ulang Masih Jadi Pilihan di Banyak Kantor Pemerintah
Perjanjian dilangsungkan di Istana Elysee, Paris, Prancis. Pembelian ini membuat Lion Air Group merogoh kocek sampai dengan 18,4 miliar Euro atau setara Rp230 triliun.
Pada November 2014, Airbus mengirimkan tiga unit pertama A320 pesanan Lion Air Group. Pengiriman awal ini diperuntukkan bagi anak usaha Lion Air Group yaitu Batik Air.
Dan kegilaan itu masih berlanjut, pada November 2014, Lion Air Group juga mengikat kontrak pembelian 40 unit pesawat turboprop baru jenis ATR72. Nilai total pembelian pesawat jet tersebut menyentuh angka $1 miliar.
Prosesi penandatanganan kontrak disaksikan oleh Perdana Menteri Italia yang kala itu menjabat, Matteo Renzi. Seremoni pun digelar di kantor pemerintahan Italia yaitu Pallazo Chigi – Piazza Colonna.
Bagaimana mungkin, sebuah perusahaan swasta bisa sedemikian perkasa, Memiliki akses langsung ke tiga negara berbeda: AS, Prancis, dan Itali dalam waktu yang nyaris berurutan, tak berselang lama? Bagaimana mungkin, seorang Rusdi Kirana, bisa sedemikian perkasa?
Belakangan jawabnya sederhana: ada keterlibatan negara sebagai penjamin utang tersebut! Bila yang pertama dituding adalah eks-Wapres Jusuf Kalla, belakangan juga melibatkan Sang Presidennya- SBY.
Negara tiba-tiba terlibat sebagai penjamin utang swasta? Hal ini sempat jadi bisik-bisik heboh, kenapa Lion Air yang sedemikian bermasalah dalam manjemennya. Sering kecelakaan, tak sekali dua membatalkan penerbangan, dan yang tersering menunda jadual seenak udelnya sendiri.
Nyaris tanpa sanksi yang berarti. Belum lagi tunggakan pada PT Angkasa Pura sebagai pengelola bandara maupun Pertamina sebagai penyedia bahan bakar. Dan pihak-pihak ketiga lain, yang kalau diinventarisasi satu persatu tak terperi banyaknya.
Dan nasib buruk tersebut semakin sempurna, ketika pandemi Covid-19 datang. Kondisi yang sudah buruk, tiba-tiba semakin buruk. Semua maskapai dilarang terbang, tanpa kecuali nyaris selama 6 bulan. Pembatalan satu penerbangan saja efeknya panjang, lah ini ini 6 bulan tak beroperasi!
Kadang orang malas berpikir, bagaimana mungkin Rusdi Kirana yang selama ini justru dianggap pemilik, dalam situasi rumit perusahaan miliknya justru ia dipilih dan ditempatkan sebagai Dubes di Malaysia.
Bagaimana ceritanya, ketika patron politiknya berkuasa di Golkar dan Demokrat, justru ia bergabung dengan PKB. Yang sejenis dan senasib Rusdi Kirana ini di Indonesia banyak, banyak sekali. Usaha merintis dari bawah, di tengah jalan dibajak politisi, dan akhirnya hanya menjadi pseudo owner: pemilik bayangan.
Jadi jelas ya, kalau tiba-tiba ada orang yang tergopoh-gopoh bawa duit sekoper pergi ke Mekkah untuk menjemput Si Imam Besar. Ia tahu betul, bahwa hanya dialah yang bisa menjadi kelompok penekan pemerintah. Ia satu-satunya yang bisa terus menteror pemerintah yang sah agar tujuannya tercapai. Apa tujuannya?
Yah, menalangi utang lah! Dan sialnya pemerintah, punya "saham kesalahan di masa lalu". Karena bersedia sebagai penjamin. Dan di sinilah SBY dan Jusuf Kalla satu kepentingan, bukan saja mengubur kasusnya, tapi menagih janji si pemerintah.
Nah, si koppig Jokowi boro-boro mau, untuk mengatasi pandemi saja sudah repot cari utangan kesana kemari. Kok diminta menalangi bayar utangan pesawat, yang di atas kertas cepat atau lambat pasti bangkrut.
Ini hanya salah satu kasus betapa jahatnya kroni oligarki di Indonesia. Mereka yang kehilangan peran, akan kembali cari pijakan.
Sayang, hitungan yang njlimet itu ambyar, hanya karena si Imam Besar keceplosan menantang TNI. Sesuatu yang sebenarnya tak perlu. Ia bodoh? Pendukungnyalah yang bodoh, menganggap ia tak akan terpeleset. Ia kena karma Ahok.
Dan, si bohir kembali manyun. Mimpinya untuk menjadi pesaing Air Asia mati terlalu dini. Ia akan terus menakut-nakuti publik, bahwa matinya Lion Air akan menghilangkan penerbangan berbiaya murah: dimana setiap orang bisa naik pesawat.
Suatu halusinasi kuno yang akan terus ditiupkan. Negara saya yakin, dan seharusnya tidak boleh terlalu peduli. Dalam konteks ini saya hanya kasihan pada nasib Rudi Kirana. Tapi buat apa juga!
Oh ya, ini hanya satu kasus. Masih belasan lain yang mengantri di belakangnya. Tapi buat apa saya bercerita, dari titik ini saja harusnya lebih dari cukup untuk membantu menyelamatkan uang negara. Negara jangan mau dijadikan sapi perahan para perompak itu.
(Dikutip anonim dari medsos) ***